Gus Baha Membedah Jilbab dan Cadar, Lelaki Memandang Wajah Perempuan Haram
KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Baha, sejak kecil sudah mendapat ilmu dan hafalan Al Quran dari ayahnya,
Penulis: Yoni Iskandar | Editor: Yoni Iskandar
Penulis : Yoni Iskandar | Editor : Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Belakangan, sosial media dipenuhi dengan video ceramah dari seorang ulama bernama Gus Baha.
KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Baha, sejak kecil sudah mendapat ilmu dan hafalan Al Quran dari ayahnya, KH Nur Salim Al-Hafidz. Bahkan video ceramah Gus Baha ini bertebaran di Youtube dan media sosial lainnya.
Mulai dari yang durasi 2-3 menit sampai yang lebih dari satu jam. Mengulas beragam topik keislaman, mulai dari fikih, ekonomi, dakwah, dan sebagainya.
Maka tidak heran apabila Gus Baha menjadi ahli tafsir Al Quran. Sehingga sangat diidolakan anak-anak muda atau yang biasa disebut kaum milenial.
Gus Baha merupakan putra dari seorang ulama pakar Al Qur’an dan juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA yang bernama KH Nursalim al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah.
Kali ini KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha akab membedah soal jilbab dan cadar dalam konteks Islam.
Jilbab dilihat dari sudut pandang lelaki, hukumnya dikembalikan kepada lelakinya, tidak dibebankan kepada perempuan.
Jika ada perempuan memakai jilbab kemudian ada lelaki yang memandang wajahnya, hukumnya tetap haram. Perempuan tidak berjilbab, namun lelaki lain tidak memandang auratnya, hukumnya tidak haram.
Baca juga: Gus Baha Hari ini Disuntik Vaksin di Puskesmas Kragan II
Baca juga: Gus Baha Soal Pandemi Covid-19, Jangan Terlalu Gelisah dan Takut Berlebihan
Baca juga: Gus Baha Berdakwah Itu Mendirikan Masjid di Pelosok, Lelang Baju, Sarung dan Kopyah di Korea
"Kata kunci keharaman bagi laki-laki adalah mata yang jelalatan atau tidak. Kepada perempuan yang berjilbab atau tidak selama lelaki bisa mengontrol pandangan dengan baik, maka tidak akan terkena dosa. Berbeda jika dilihat dari sisi perempuan. Bagi muslimah, perilaku berjilbab itu sendiri hukumnya wajib," jelas Gus Baha.
Sebelum Islam datang, para perempuan jahiliyyah dahulu tidak memakai jilbab. Mereka membuka auratnya di depan lelaki lain. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat yang salah satunya dengan cara berjilbab. Ukuran seberapa besar orang berjilbab yang paling mendasar di dalam Al-Quran.
Dengan pakaian tersebut, menjadi simbol para perempuan menjadi mudah dikenali. Dengan dikenali, perempuan menjadi tidak disakiti. (QS Al-Ahzab: 59)
Pada masa Rasulullah ﷺ, para perempuan memakai pakaian dengan busana dan sikap yang menunjukkan kesediaannya jika diajak untuk berlaku senonoh. Dengan ayat tersebut Alah memberikan aturan berpakaian yang menunjukkan apabila diajak ke arah mesum pasti tidak mau. Waktu itu, jilbab merupakan simbol pakaian yang menunjukkan pemakainya pasti enggan diajak berlaku asusila.
Meskipun begitu, tidak bisa disalahartikan apabila ada perempuan berjilbab namun masih tersenyum genit yang mengekspresikan kemauannya jika diajak melakukan hal buruk lalu hukumnya menjadi boleh. Hal ini lah yang menjadikan aturan bahwa jilbab itu wajib, sedangkan senyum genit yang mengarah kesediaan untuk bertindak asusila itu tetap haram. Tidak berarti jika sudah berjilbab menjadi bebas.
Gus Baha menjelaskan bahwa pengikut ahlussunnah di Indonesia di bidang fiqih mengikuti madzhab empat, tidak hanya satu madzhab. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Orang Indonesia secara umum mengikuti madzhab Syafi’i, tapi dalam madzhab Syafi’iyyah mewajibkan menutup muka bagi perempuan di luar shalat.
Sedangkan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia dengan berjilbab tanpa menutup wajah mengikuti madzhab Hanafi. Sehingga muslimah Indonesia, dalam hal menutup aurat wajah, mengikuti madzhab Hanafi.
Menurut Gus Baha, ulama-ulama di Indonesia itu bermazhab Syafi’i, meskipun intiqal (berpindah) mazhab dalam persoalan aurat atau tidaknya wajah di luar salat.
Menurut santri kesayangan KH Maimoen Zubair ini, berdasarkan keterangan dari Imam Syafi’i itu meyakini bahwa semua anggota badan perempuan di dalam salat itu aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Akan tetapi di luar salat, wajah perempuan dalam mazhab Syafi’i itu aurat.
"Meskipun demikian dalam konteks Indonesia ulama kita berpindah mazhab dalam hal menutupi wajah, yaitu menggunakan mazhab Hanafi, yang menganggap wajah bukanlah aurat di luar salat. Oleh sebab demikian istri kiai, anak-anak perempuannya. Bahwa mereka tidak memakai cadar,"kata Gus Baha.
Dibalik penampilannya yang lekat dengan kemeja lengan panjang putih polos dan kopiah hitam yang sederhana tersebut, ia menjelaskan soal adanya orang yang memaksakan untuk memakai cadar dengan alasan untuk menghindari fitnah. Yaitu bahwa alasan memakai jilbab agar tidak timbul fitnah atas orang yang melihatnya.
"Fitnah itu tidak selalu ketika melihat perempuan yang cantik sehingga menimbulkan syahhwat, melihat yang jelek pun bisa menimbulkan syahwat dalam bentuk menghina atau mencela. Sehingga, tidak fear mengatakan yang dimaksud fitnah hanya dalam masalah melihat yang cantik saja," papar Gus Baha.
Gus Baha melanjutkan, meskipun para ulama di Indonesia dalam soal menutup wajah mayoritas berpindah ke mazhab Hanafi, akan tetapi mereka tetap berpegang teguh pada mazhab Syafi’i.