Gus Baha
Gus Baha : Seorang Dai Harus Punya Argumentasi yang Baik, Bukan Marah-marah Yang Tidak Jelas
Gus Baha mengutip kitab Ihya Ulumiddin. Di sana ada ungkapan kekhawatiran Imam Ghazali mengenai pembaca al-Qur’an yang hanya sekedar membaca
Penulis: Yoni Iskandar | Editor: Yoni Iskandar
Penulis : Yoni Iskandar | Editor : Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Baha, sejak kecil sudah mendapat ilmu dan hafalan Al Quran dari ayahnya, KH Nur Salim Al-Hafidz. Bahkan video ceramah Gus Baha ini bertebaran di Youtube dan media sosial lainnya.
Belakangan, sosial media dipenuhi dengan video ceramah dari seorang ulama bernama Gus Baha.
Mulai dari yang durasi 2-3 menit sampai yang lebih dari satu jam. Mengulas beragam topik keislaman, mulai dari fikih, ekonomi, dakwah, dan sebagainya.
Maka tidak heran apabila Gus Baha menjadi ahli tafsir Al Quran. Sehingga sangat diidolakan anak-anak muda atau yang biasa disebut kaum milenial .
Kali ini KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha membahas soal 'Dai' harus mempunyai argumen yang baik dan selalu marah-marah dengan alasan yang tidak jelas.
Dalam hal ini, Gus Baha mengutip kitab Ihya Ulumiddin. Di sana ada ungkapan kekhawatiran Imam Ghazali mengenai pembaca al-Qur’an yang hanya sekedar membaca secara Hakiyan (pendongeng), bukan secara Qari’an (pembaca).
Maksudnya, jika pembacaan kita terhadap Al-Qur’an dan apa yang kita sampaikan pada orang lain sama dengan apa yang ada pada teks, tak mampu menggali makna lain, maka kita ini, menurut Imam Ghazali, tak ubahnya hanyalah seorang pendongeng belaka. Maka artinya, kita dituntut untuk memahami Al-Qur’an tidak sebatas pada teks saja, namun lebih dalam dan jauh lagi dari itu.
"Sosok Fir’aun yang mengaku dirinya sebagai tuhan. Diutusnya Nabi Musa oleh Allah untuk mendakwahi Firaun. Jangan-jangan secara teori fikih, Fir’aun ini tidak salah, karena sebelumnya tak ada atau belum ada yang menasehatinya. Sebab dari peristiwa Nabi Musa dan Firaun ini dapat diambil suatu hikmah, bahwa suatu kemungkaran dapat divonis sebagai kemunkaran apabila pelakunya benar-benar sudah mendapatkan ajakan kebaikan/dakwah. Jika belum, maka ini dianggap sebagai suatu kesalahan sosial yang wajar," kata Gus Baha, dalam pengajiannnya yang disimak dalam sebuah youtube oleh penulis.
Baca juga: Gus Baha Punya Kecerdasan Yang Luar Biasa, Nalar Ushuli dan Wara’i, Ini Maknanya?
Baca juga: Gus Baha : Kiai Sehari Manggung Tiga Kali, Pasti Bicaranya Standar, Itu-Itu Saja
Baca juga: Aurel Pilih Krisdayanti di Pelaminan? Posisi Raul Dikuak, Ashanty Siapkan Hati, Istri Anang: Kasihan
Menurut Gus Baha, apabila melihat kemungkaran, kita sebagai orang yang di sekelilingnya hendaknya sadar diri. Sejauh mana kontribusi kita dalam mendidik mereka. Jangan-jangan keburukan yang mereka lakukan ini karena kesalahan kita yang tidak aktif dalam mengajak kebaikan. Bukan malah marah-marah tak jelas. Maka sekali lagi, sesuatu bisa dianggap keliru setelah adanya proses pembinaan.
“Lah itu namanya (baru) baca Qur’an. Bukan Hâkiyan (tukang dongeng),” tegas Gus Baha saat acara ngaji bersama di Masjid-Pesantren Bayt al-Qur’an.
Gus Baha merasa prihatin jika kisah dalam al-Qur’an ini dijadikan hanya sekedar cerita saja, tidak lebih. Kisah seperti di atas hanya diungkapkan sebagai perlawanan antara Nabi Musa dan Firaun belaka, atau hanya membahas kesaktian tongkat Nabi Musa lalu ramai-ramai ke Turki hanya untuk melihat tongkat tersebut. Demikian ini tentu tidak salah. Akan tetapi sebenarnya ada yang jauh lebih penting daripada itu.
"Kalau kita membaca, Firaun ini memang jelas-jelas salah, karena menganggap dirinya sebagai tuhan. Namun, Allah menyalahkannya setelah adanya proses tarbiyah melalui Nabi Musa, yaitu melalui adu argumentasi. Tuhan seluruh alam itu siapa?” tanya Fir’aun.
Nabi Musa menjawab “Dialah Tuhan pencipta langit dan bumi.”
Namun tampaknya Firaun tidak puas dengan jawaban tersebut. Dalam ayat lain, Firaun menyatakan bahwa di dunia ini tak ada Tuhan selain dirinya, lalu ia memerintahkan Haman (sang Patih) untuk membuat bangunan tinggi atas dasar keinginan Firaun yang ingin melihat Tuhan Nabi Musa.
Lalu Nabi Musa mengatakan, “Tuhan semesta alam yaitu Rabbukum wa Rabbu abaikum al-awwalin. Tuhanmu adalah Tuhan nenek moyangmu terdahulu”.