Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Gus Baha

Gus Baha : Seorang Dai Harus Punya Argumentasi yang Baik, Bukan Marah-marah Yang Tidak Jelas

Gus Baha mengutip kitab Ihya Ulumiddin. Di sana ada ungkapan kekhawatiran Imam Ghazali mengenai pembaca al-Qur’an yang hanya sekedar membaca

Penulis: Yoni Iskandar | Editor: Yoni Iskandar
Instagram.com/@gusbahaonline
Gus Baha atau Kiai dengan nama asli KH Ahmad Bahauddin Nursalim. 

Dengan jawaban ini para pengikut Firaun mulai berfikir. Apabila Fir’aun ini Tuhan, lalu siapa yang menjadi tuhan dari nenek moyangnya terdahulu. Logika ini cukup mengena dan pikiran mereka mulai kacau.

“Ini artinya apa? Kita jadi berfikir bahwa Syarthud Da’i (syarat menjadi pendakwah) adalah Quwwatul Hujjah. Syarat seorang da’i adalah (harus) memiliki kekuatan argumentasi,” tambah Gus Baha.

Merasa dikalahkan oleh Nabi Musa, Firaun menjadi marah dan tak mau menyerah. Dia mengancam “jika engkau menyembah tuhan selain aku, maka akan aku masukkan engkau ke dalam penjara”.

Ketika Firaun dalam kondisi marah dan mengancam seperti ini, rupanya Allah tidak rela seandainya Nabi Musa dikalahkan. Nah, dalam keadaan seperti inilah baru memakai kekuatan (mukjizat) untuk menghadapi Firaun.

“Jadi ada urutannya. Tapi orang-orang hanya cerita (tentang) mukjizatnya saja,” papar Gus Baha.

Umumnya, dalam membaca kisah ini kita memang hanya melihat kemukjizatannya saja. Tidak mudah memang, dapat menggali makna yang sedemikian dalam, sebagaimana yang disampaikan Gus Baha’. Harus membaca ayat-ayat terkait secara komprehensif, dan butuh dzauq (pengamatan) yang salim (sehat). Lebih-lebih kisah Nabi Musa yang dalam Al-Qur’an tersebar di berbagai surat dan ‘terulang’ beberapa kali.

Meski pada akhirnya Firaun tetap kalah, namun proses dakwah ala Nabi Musa ini, menurut Gus Baha, tak boleh kita abaikan. Dalam bermasyarakat, kita harus aktif dalam mendidik orang sekitar, dan tak mudah emosi apabila melihat suatu kemunkaran yang jangan-jangan akibat kelalaian kita yang tidak menasehati mereka.

Secara umum, suatu apapun jangan kita abaikan prosesnya. Lalu, beliau menyitir dawuh Imam Ghazali:

“Man ra’ânî fil bidâyah kâna shiddîqan. Wa man ra’ânî fin nihâyah kâna zindîqan.” (Orang yang mengenalku ketika berproses dalam hidup, maka dia temanku. Tetapi jika hanya melihatku saat aku jadi tokoh besar saja, maka dia zindiq.”

Harus Riang

Islam sebagai agama tidak pernah membuat penganutnya merasakan penderitaan. Agama sudah memberi jalan dan ruang yang penuh dengan keceriaan, kenikmatan, ketenangan, bahkan ‘kepuasan’.

Tidak heran jika Gus Baha menyampaikan bahwa agama itu dimulai dari kesenangan, happy, farah kalau dalam bahasa Arab. Karena Agama sendiri adalah jalan dan ruang yang indah penuh kedamaian. Lebih tegas Gus Baha menghaturkan sebuah ayat.

"Andaikan senang itu bisa ditakar, orang yang sedang tahajjud, menangisi dosanya. Itu senangnya jika dibandingkan dengan orang yang sedang dugem, mesti kalah, mesti senengan sedang tahajjud. Karena orang-orang maksiat itu sebenarnya orang-orang yang susah. Sementara orang yang tahajjud senengnya sangat terasa dan terus diingat. Semisal tadi malam bagaimana menangisi dosa, menangisi nasib. Kemudian menjadi tenang karena kembali ingat kepada Allah dan Rasul. Itu luar biasa senangnya," papar Gus baha yang juga santri kesayangan KH Maimoen Zubair itu.

Alhasil, kunci mendapatkan kesenangan beribadah menurut Gus Baha, adalah dimulai dengan rasa senang. Jika sudah dimulai dengan kesenangan, ibadah pun menjadi nyaman dilaksanakan.

"Kemudian berbuah menjadi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang dilakukan oleh para ulama kita. Karena para ulama sangat mengerti bahwa agama itu adalah jalan kesenangan, maka memulainya harus dengan rasa senang sehingga merasakan manisnya beribadah," jelasnya KH Ahmad Bahauddin Nur Salim ini.

Berita tentang Gus Baha

Berita tentang KH Maimoen Zubair

Berita tentang Ngaji Bareng Gus Baha

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved