Berita Surabaya
Ada 104 Kasus Kekerasan Anak di Surabaya Selama 2021, DP5A Siap Dampingi dan Minta Korban Melapor
Kekerasan kepada anak di Surabaya mencapai 104 kasus. melalui DP5A Surabaya pun turun tangan melakukan berbagai upaya pencegahan.
Penulis: Bobby Constantine Koloway | Editor: Ndaru Wijayanto
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Pemkot Surabaya mencatat kekerasan kepada anak di Surabaya mencapai 104 kasus.
Pemkot melalui Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A) Surabaya pun turun tangan melakukan berbagai upaya pencegahan.
"Hingga saat ini, sudah ada 104 kasus yang merupakan akumulasi berbagai persoalan," kata Kabid Pengarusutamaan Hak Anak dan Perlindungan Perempuan dan Anak DP5A Surabaya, Ida Widayati, Minggu (12/12/2021).
Ida menjelaskan, berbagai kategori kekerasan yang biasanya dialami anak. Di antaranya, kekerasan seksual seperti pencabulan, kekerasan karena ekonomi, hingga kekerasan yang dilakukan oleh teman sebayanya.
"Faktornya ada banyak. Misalnya dari lingkungan, keluarga, hingga pertemanan," kata Ida.
Menurutnya, faktor keluarga memiliki hubungan cukup erat. Misalnya, karena ekonomi sebagai imbas dari pandemi berkepanjangan.
"Mungkin juga karena permasalahan ekonomi akhirnya berimbas ke anak. Akhirnya, pola asuh salah. Anak dicap nakal padahal si anak sedang mencari perhatian," katanya.
Pun demikian dengan kekerasan seksual. Seiring dengan semakin seringnya anak di rumah justru menimbulkan peningkatan kasus.
Belum lagi dengan pernikahan muda termasuk pernikahan dini. "Karena kurang matangnya emosional saat berkeluarga, timbul sikap tempramen kepada anak," katanya.
Untuk mengantisipasi hal ini, pihaknya telah melakukan berbagai upaya. Termasuk, soal pencegahan.
Pihaknya menyampaikan pendekatan humanis tentang keluarga. "Kami datang ke sekolah, ke lingkungan, hingga kelompok masyarakat untuk sosialisasi. Juga, kepada orang-orang yang mau nikah," katanya.
"Berkeluarga itu seperti apa. Punya anak itu seperti apa. Kondisi lingkungan sebelum dan setelah menikah itu juga beda," katanya.
Pihaknya juga meminta setiap anak untuk berani melapor apabila mengalami kekerasan. Ada sejumlah jalur yang bisa ditempuh.
Misalnya, melalui panggilan Command Center 112 atau juga datang ke kantornya. Pihaknya memastikan akan melindungi privasi korban.
"Kami siapkan trauma healing dengan melibatkan 18 psikolog. Kalau pun belum bisa menyembuhkan, kami akan antar ke psikolog profesional lainnya," katanya.
Pun apabila menyangkut kasus hukum, pihaknya juga siap mendampingi. Pihaknya juga telah berkolaborasi dengan jajatan kepolisian.
"Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual maka masuk ranah pidana sehingga kami dampingi," katanya.
Diakui pihaknya, tidak semua kekerasan pada anak masuk pidana. Misalnya karena pertengkaran sesama anak.
Terkait kekerasan seksual, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya menjelaskan ada kecenderungan peningkatan kasus selama tiga tahun terakhir. Korban bukan hanya pada dewasa, namun juga anak di bawah umur.
"Tahun 2019 itu ada sekitar 65-70 kasus. Kemudian, tahun 2020 itu ada sekitar 100 sekian kasus," kata Kanit PPA Satreskrim Polrestabes Surabaya Ipda Tri Wulandari dikutip dari Kompas.com.
"Nah, di tahun 2021 sampai bulan Oktober ini sudah 100 lebih, dan itu yang jadi korban rata-rata anak di bawah umur," kata Wulan.
Kata Wulan, Satreskrim Polrestabes Surabaya menyiapkan terobosan untuk menekan jumlah kasus kekerasan seksual, terutama terhadap anak di bawah umur.
Selain itu, pihaknya juga bekerja sama dengan Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A), Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Kota Surabaya untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat.