Berita Jatim
Kemenkumham Jatim Optimalkan Fungsi Pembimbing Kemasyarakatan untuk Rehabilitasi dan Reintegrasi
Kanwil Kemenkumham Jatim bakal memaksimalkan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi pada Warga Binaan Pemasya
Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Ndaru Wijayanto
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Luhur Pambudi
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA- Kanwil Kemenkumham Jatim bakal memaksimalkan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi pada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Terorisme.
Hal itu ditegaskan Kadiv Pemasyarakatan Teguh Wibowo dalam kegiatan Pelatihan Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial Bagi Mantan Pelaku Tindak Pidana Terorisme.
Teguh mengatakan, WBP teroris bila bersedia kembali menjadi bagian dari NKRI dan mengikuti program deradikalisasi, maka WBP tersebut berhak mengajukan usul program reintegrasi.
Baik itu program asimilasi maupun program pembebasan bersyarat. Sesuai dengan syarat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
"Sehingga otomatis klien pemasyarakatan akan menjadi bagian dari Balai Pemasyarakatan," ujarnya, Selasa (15/3/2022).
Baca juga: Momentum Maksimalkan Layanan, 10 Satker Jajaran Kanwil Kemenkumham Jatim Raih Predikat WBK/WBBM 2021
Nah, pembimbing kemasyarakatanlah yang akan melakukan pembimbingan dan pengawasan dalam menjalankan program reintegrasi di masyarakat.
Karena selama ini, lanjut Teguh, tidak mudah bagi seorang klien yang berlatarbelakang mantan WBP terorisme untuk bisa kembali ke tempat tinggal sebelumnya.
"Peran PK dalam membimbing dan mengawasi menjadi sangat penting," lanjutnya.
Untuk itu, Teguh menegaskan perlu adanya perubahan manajemen. Yaitu dengan pola kerjasama antar stakeholder yang berkesinambungan.
Baca juga: Kanwil Kemenkumham Jatim Pindahkan 34 WBP Risiko Tinggi ke Nusa Kambangan, Didominasi Kasus Ini
Peran bapas dituntut lebih kuat dalam menjalankan program reintegrasi bagi WBP kasus teroris.
Salah satu langkah untuk memperkuat peran bapas adalah dengan dibentuknya kerjasama dan kolaborasi dengan United Nations on Drugs and Crime (UNODC).
Kerjasama dan kolaborasi ini sangat penting mengingat banyaknya narapidana kasus terorisme di Indonesia.
Diharapkan dengan adanya pelaksanaan pelatihan-pelatihan antara Ditjen Pemasyarakatan dan UNODC, dapat lebih melakukan kajian-kajian terkait penanganan narapidana terorisme melalui pendekatan proses disengagement.
Teguh menganggap, diperlukan alat ukur assesment yang jelas. Supaya penanganan yang diambil tepat sasaran dan mempunyai nilai manfaat bagi WBP.
"Baik selama di dalam lapas, saat menjelang kembali ke masyarakat, maupun saat menjalani pengawasan kembali ke masyarakat," urainya.
Nantinya, lanjut Teguh, hasil dari pembinaan terhadap WBP teroris adalah ketidakmampuan meneruskan nilai-nilai yang diyakini.
Selain itu juga melemahkan partisipasi kelompok serta hilangnya dukungan komunitas.
"Hingga menurunnya tingkat risiko radikalisme dan residivisme serta napiter lebih siap dalam proses reintegrasi sosial," jelasnya.
Sekadar diketahui, total WBP teroris berjumlah hingga Februari 2022 sejumlah 456 orang masih berada di lapas di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 41 orang diantaranya berada di Jatim.