Berita Surabaya
Sampah di Surabaya Naik 200 Ton Saat Lebaran, Sisa Makanan hingga Plastik Masih Mendominasi
Jumlah sampah di Surabaya meningkat sepekan jelang lebaran hingga hari H lalu. Peningkatannya, bahkan sempat mencapai 200 ton per hari.
Penulis: Bobby Constantine Koloway | Editor: Januar
Laporan wartawan Tribun Jatim Network, Bobby Constantine Koloway
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Jumlah sampah di Surabaya meningkat sepekan jelang lebaran hingga hari H lalu. Peningkatannya, bahkan sempat mencapai 200 ton per hari.
"Kalau di hari biasa, sampah yang masuk TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Benowo di angka 1.600 ton perhari. Saat jelang lebaran lalu ada kenaikan sekitar 200 ton," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surabaya Agus Hebi Djuniantoro, Selasa (10/5/2022).
Diakui pihaknya, petugas bahkan sempat kewalahan. "Tukang geledek (pengangkut sampah) yang biasa ambil 2 hari sekali, saat Ramadhan bisa ambil setiap hari," kata Agus.
Dari total sampah yang masuk tersebut, sebagian lantas diolah menjadi kompos. "Sebenarnya, kami sudah lakukan antisipasi termasuk lewat sosialisasi untuk pengurangan produksi sampah, terutama lewat diet kantong plastik," kata Agus.
Baca juga: Kematian Hewan Akibat PMK di Sidoarjo Rendah, Masyarakat Diminta untuk Tetap Tenang
Pemerhati lingkungan dari Komunitas Nol Sampah, Wawan Some mengungkapkan, bahwa gejala kenaikan sampah di Surabaya saat Lebaran bukan hanya terjadi tahun ini saja. Tahun sebelumya, ada gejala yang sama.
"Beberapa penelitian memang menyebutkan ada peningkatan. Dan memang umumnya, lebaran ada kenaikan 10 persen," kata Wawan kepada Surya.co.id dikonfirmasi terpisah.
Menurutnya, peningkatan sampah tersebut disebabkan karena tingkat konsumsi masyarakat yang meningkat. "Dari peningkatan ini, sampah yang paling banyak memang sisa makanan dan plastik sekali pakai untuk alat makan," katanya.
Pada saat Ramadhan dan Lebaran, lebih banyak makanan yang diproduksi. Terutama, untuk tujuan hantaran. Makanan yang tidak habis menyebabkan sisa makanan.
Hal ini diperparah dengan pergeseran pola hidup masyarakat yang lebih banyak menggunakan alat makan berbahan plastik sekali pakai. "Data penelitian ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember), plastik di 2017 sebesar 14 persen dari total sampah. Namun, di 2020 naik jadi 22 persen," katanya.
Dari total sampah plastik tersebut, sekitar 23 persen adalah kresek dan 18 persen adalah sampah alat makan. "Sedangkan kalau fakta di Surabaya, 52 persen sampah adalah sampah sisa makanan," katanya.
Tingginya sampah makanan dan sampah plastik ini berbahaya. Salah satu dampaknya, meningkatkan penyebab pemanasan global.
"Sekalipun mudah terurai, tumpukan sampah sisa makanan mengakibatkan gas metan. Sebab proses fermentasi yang sangat cepat," katanya.
"Gas metan ini berbahaya terhadap pemanasan global. Kontribusi sampah terhadap gas rumah kaca cukup tinggi bisa sampai 18 persen," ungkapnya.
Oleh karenanya, pihaknya berharap ada kolaborasi bersama antara masyarakat pemerintah. Masyarakat harus memiliki kesadaran tinggi untuk mengurangi sampah.