Berita Jatim
Kekerasan pada Anak Masih Tinggi dan Terjadi di Ruang Online, Anak-anak Butuh Lingkungan Aman Ramah
Kekerasan pada anak masih sangat tinggi dan terjadi di ruang online, sehingga anak-anak butuh lingkungan yang aman dan ramah.
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Angka kekerasan yang terjadi pada anak-anak masih saja tinggi. Upaya pencegahan kekerasan pada anak pun terus dikembangkan untuk bisa memastikan semua anak-anak terlindungi serta bisa menatap masa depan mereka dengan aman dan cemerlang.
Tercatat, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia pelanggaran hak anak pada tahun 2021 menunjukkan angka masih cukup tinggi. Data pengaduan masyarakat, pada tahun 2019 terdapat 4.369 kasus, pada 2020 naik menjadi 6.519 kasus dan 2021 masih mencapai angka 5.953 kasus.
Sementara itu data Simponi KPPA, pada akhir tahun 2021, di Jawa Timur terdapat 1.283 korban kekerasan yang dilaporkan. Jumlah itu terdiri dari 873 anak perempuan dan 410 anak laki-laki serta 41 anak (semua laki-laki) yang berkonflik dengan hukum ditahan dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan.
Di era digital, kekerasan pada anak juga banyak terjadi di ruang online. Indonesia termasuk dalam 10 negara teratas dengan kasus kekerasan seksual anak online tertinggi sejak 2005. Jejak pendapat U-Report 2019 terhadap 2.777 anak muda Indonesia usia 14-24 tahun, menemukan 45 % mengalami cyberbullying; jumlah anak laki-laki sedikit lebih tinggi dari anak perempuan masing-masing sebesar 49 % dan 41 % .3 dari 10 anak mengalami eksploitasi dan kekerasan seksual online (ECPAT, DtZ 2020). 196.7 juta orang Indonesia terhubung dengan internet, hampir setengah dari jumlah tersebut mengakses internet melalui smartphone. Di Jawa Timur, 26.4 juta orang akses internet atau lebih dari 64 % dari total pendudukn Jawa Timur.
Baca juga: Komnas PA Apresiasi Kerja Cepat Polresta Malang Kota Menangani Kasus Kekerasan Anak
Anak-anak di Indonesia menggunakan smartphone sebagai perangkat utama mereka di ruang daring/online. Kepemilikan smartphone dan penggunaan media sosial rentang usia 16–24 tahun mencapai 93,3 % dan 90,7 % . 41 % anak-anak dan remaja di Indonesia menyembunyikan usia sebenarnya di dunia maya
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim bersama UNICEF Indonesia terus mendukung pengembangan sistem perlindungan anak yang integratif serta holistic. Mereka mengajak semua OPD serta stakeholder perlindungan anak di tingkat Jawa Timur untuk bisa bersama-sama membangun lingkungan yang aman dan ramah anak.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur, Restu Novi Widiani menuturkan, masih banyak pekerjaan rumah di Jatim yang berhubungan dengan anak. Selain stunting, kekerasan pada anak serta pernikahan anak juga masih tinggi.
“Kami berterima kasih pada semua pihak yang sudah ikut dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak serta masalah-masalah perlindungan anak lainnya. Termasuk ikut dalam mengembangkan sistem perlindungan anak bagi OPD maupun stakeholder di Jatim,” ujar Novi di sela-sela Pelatihan Sistem Perlindungan Anak bagi OPD dan Stakeholders Perlindungan anak di Jatim, Kamis (23/6/2022).
Baca juga: Ada 104 Kasus Kekerasan Anak di Surabaya Selama 2021, DP5A Siap Dampingi dan Minta Korban Melapor
Ia melanjutkan, perundungan serta pekerja anak juga menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Masih banyak dijumpai pekerja anak yang usianya di bawah 18 tahun. “Untuk perkawinan anak, dispensasi nikah di Jatim juga masih tinggi,” jelasnya.
Spesialis Perlindungan Anak UNICEF Wilayah Jawa, Naning Pudjijulianingsih mengatakan, sistem perlindungan anak di Jatim sudah dikembangkan di beberapa daerah termasuk peningkatan kapasitas layanan Kesejahteraan sosial dan Perlindungan anak, layanan di tingkat masyarakat/berbasis masyarakat, edukasi pengasuhan positif dan penguatan kapasitas anak sebagai pelopor dan pelapor. Harapannya daerah-daerah lainnya bisa melakukan replikasi pengembangan sistem perlindungan anak.
Kekerasan pada anak sampai saat ini masih menjadi isu nasional yang butuh upaya luar biasa dan banyak kolaborasi semua pihak untuk bisa mencegahnya. Berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk membangun sistem perlindungan anak yang sudah dilakukan di berbagai daerah.
“Hal baik dalam sistem perlindungan anak bisa diadopsi serta dikembangkan ke berbagai daerah. Termasuk Jatim yang kini terus fokus dalam mewujudkan provinsi dan Kabupaten/kota layak anak dan GERAKAN 5 STOP dengan memperkuat sistem perlindungan anak,” jelasnya.
Selain kekerasan pada anak, katanya, perkawinan anak di Jatim juga tinggi. Termasuk juga kasus perundungan serta aksi kekerasan yang melibatkan anak. “Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak tak bisa sendirian, makanya kehadiran banyak pihak dalam rangka sistem perlindungan anak ini bisa terus dilakukan,” jelasnya.
Pandemi COVID-19 juga membawa efek domino pada peningkatan kekerasan pada anak. UNICEF memastikan model adaptif yang responsif terhadap konteks pemrograman pandemi COVID-19 dan mengadopsi pendekatan ekologis untuk mengatasi kerentanan anak-anak yang disebut Lingkungan Aman dan Ramah untuk Anak-Anak (SAFE4C) sejak awal 2021.
Pada masing-masing wilayah dan daerah, lanjutnya, UNICEF bekerjasama dengan OPD terkait dengan melibatkan Lembaga Masyarakat termasuk LPA untuk bisa mendorong stakeholders local.