Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Ponorogo

Sejarah Kirab dan Jamasan Pusaka Ponorogo yang Selalu Digelar Saban 1 Suro

Sejarah kirab dan jamasan pusaka di Ponorogo yang selalu digelar saban 1 Suro atau 1 Muharram. Mengenang perpindahan pusat pemerintahan.

TRIBUNJATIM.COM/Sofyan Arif Candra
Kirab Lintasan Sejarah dan Jamasan Pusaka dalam Rangkaian Grebeg Suro Ponorogo, Jumat (29/7/2022). 

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Sofyan Arif Candra

TRIBUNJATIM.COM, PONOROGO - Tradisi kirab dan jamasan tiga pusaka yang dilakukan saban tahun pada 1 Suro atau Tahun Baru Islam, telah tuntas digelar Pemkab Ponorogo.

Jumat (29/7/2022) lalu, ketiga pusaka telah dikirab dari Makam Bupati Ponorogo pertama, Batoro Katong menuju Alun-alun Ponorogo, yang disaksikan oleh ribuan pasang mata di sepanjang rute kirab.

Seorang budayawan Ponorogo, Sunarso mengatakan, kirab tiga pusaka yang dilakukan setiap Suro adalah dalam rangka mengenang perpindahan pusat pemerintahan dari kota lama ke kota tengah.

Namun sebenarnya pusaka milik Ponorogo ada empat buah, yakni, tombak Kanjeng Kiai Tunggul Nogo, Payung Kiai Tunggul Wulung, Angkin atau Cinde Puspito, dan keris Kiai Kodok Ngorek.

Pusaka terakhir yang merupakan pemberian Kasunanan Surakarta tersebut saat ini tidak diketahui keberadaannya setelah pemerintahan Bupati Cokronegoro yang kedua atau tahun 1914.

"Sampai sekarang tidak tahu posisinya dimana, tapi saya pernah menemukan literaturnya di perpustakaan milik Keraton Kasunanan Surakarta," jelas Sunarso, Minggu (31/7/2022).

Sementara untuk Pusaka Kanjeng Tunggul Nogo dan Tunggul Wulung merupakan pusaka milik Raja Majapahit, yaitu Brawijaya V.

Saat terjadi perebutan kekuasaan, kedua pusaka tersebut dititipkan Brawijaya V untuk dirawat oleh Eyang Joyodrono dan Joyodipo.

Brawijaya V berpesan, kalau ada orang yang mengetahui keberadaan tombak itu merupakan keturunannya. 

Joyodrono pun pergi ke Ponorogo dan bertapa. 

"Saat itu bertemu Batoro Katong dan ternyata bisa melihat tombak Kiai Tunggul Nogo yang dipasang di Goa Segolo-Golo. Makanya kedua pusaka itu diserahkan ke Eyang Batoro Katong,’’ ungkapnya.

Kehebatan tombak itu terbukti saat Ponorogo diserang oleh Ki Ageng Kutu dengan 200 pasukannya.

Sementara Batoro Katong hanya memiliki 40 santri dan dibantu oleh Patih Seloaji yang punya kehebatan dalam berperang. 

Tombak Kiai Tunggul Nogo digunakan untuk mengadang pasukan tersebut dan entah apa yang terjadi, barisan kuda pasukan Ki Ageng Kutu lari terbirit-birit.

Untuk Angkin Puspito, merupakan sabuk yang dipakai oleh Batoro Katong kemanapun dia pergi, termasuk saat berperang, sehingga sangat bersejarah karena menjadi barang yang tak terpisahkan dari Batoro Katong.

Sementara itu, sejarah adanya kirab pusaka bermula saat Bupati Mertonegoro memindahkan pemerintah dari Kota Lama ke Kota Tengah pada tahun 1837.

Saat itu, hanya ada empat Kadipaten. Yakni, Kadipaten Pedanten, Kuto Wetan, Sumoroto dan Polorejo. 

Keempatnya memiliki kekosongan kepemimpinan dan dijadikan satu Kadipaten dan dipimpin oleh Mertonegoro lalu menjadi Kabupaten Ponorogo.

"Saat itu hanya (kadipaten) Somoroto yang belum bergabung, namun tahun 1887 bergabung menjadi satu Kabupten Ponorogo," jelas Sunarso.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Kumpulan berita seputar Ponorogo

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved