Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Surabaya

Cerita Warga Surabaya soal Tanahnya yang SHM Jadi Surat Ijo, Eri Cahyadi: Keputusan Pengadilan

Inilah kisah warga Surabaya yang status tanahnya berubah dari SHM menjadi Surat Ijo. Kok bisa?

Penulis: Bobby Constantine Koloway | Editor: Januar
ISTIMEWA/ TribunJatim.com
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi saat memberikan arahan di Surabaya. 

Laporan wartawan Tribun Jatim Network, Bobby Constantine Koloway

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mendapat berbagai curhatan pada acara "Sambat Nang Cak Eri", Sabtu (20/8/2022) di Balai Kota.

Di antara yang menarik perhatian, Mas Eri kembali mendapatkan pertanyaan warga soal Surat Ijo.

Pada awalnya, warga bernama Rahmat Hadi tersebut menanyakan soal permasalahan ahli waris. Setelah penjelasan panjang, Rahmat kemudian menyinggung soal sertifikat tanah waris yang ternyata merupakan tanah bersertifikat Hak Pengelolaan (HPL) atau Surat Ijo.

Semakin menghangat ketika Rahmat menyinggung persoalan peralihan tanah di tahun 90-an.

Menurutnya, tanah tersebut sempat bersertifikat Hak Milik (SHM) di tahun 70-an namun lantas berubah menjadi surat ijo di tahun 90-an.

"Pak Wali, saya mau tanya. SHM dijadikan surat ijo ini dasarnya apa nggeh?," kata Rahmat kepada Mas Eri.

Pertanyaan tersebut lantas dijawab Mas Eri.

Baca juga: Anggap Perda Bermasalah, Pemilik Surat Ijo di Surabaya Tolak Bayar Retribusi IPT ke Pemkot

Menurutnya, permasalahan peralihan tersebut bukanlah substansi yang selaiknya diperdebatkan saat ini.

Sebab, selain pengambil kebijakan merupakan pemerintah terdahulu, kebijakan tersebut juga telah berulang kali diuji di pengadilan.

"Hal seperti ini sudah diputuskan di pengadilan. Berulang kali," kata Mas Eri.

"Pengadilan juga sudah menyatakan bahwa itu merupakan aset pemerintah. Sehingga, kalau Njenengan (Anda) mengatakan ingin kembali lagi (ke SHM), sekali lagi kami sampaikan ini sudah ada keputusan pengadilan," katanya.

Menurut Mas Eri, dibanding berbicara konstruksi akar peralihan hak milik menjadi surat ijo, pihaknya lebih memilih untuk mencari jalan keluar keringanan retribusi warga. Menurutnya, warga penghuni surat ijo tak harus dibebani retribusi kepada Pemkot dan PBB kepada pemerintah pusat.

Solusinya, tagihan bisa untuk salah satunya saja sehingga akan lebih ringan. Ia pun telah meminta masukan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait hal ini.

"Ketika saya menjadi Wali Kota, saya sampaikan ke Kementerian Agraria. Solusinya bagaimana?," katanya.

"InsyaAllah, sudah dirapatkan. Tinggal menunggu solusi dari Kementerian secara tertulis," kata mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya ini.

Menurutnya, ini merupakan solusi jalan tengah. Sebab sebagai pemilik aset, Pemkot tak bisa melepaskan begitu saja lahan tersebut kepada warga karena bisa merugikan negara.

Di sisi lain, warga juga tak bisa dibebani dengan biaya retribusi atau pun sewa yang terlalu tinggi. "Kita bertemu di sini untuk mencari solusi. Tidak kembali lagi ke soal aturan hukum yang sudah pernah dibahas di pengadilan," kata Mas Eri kepada jurnalis ditemui seusai acara.

"Kalau bicara perbedaan aturan hukum, satu-satunya langkah lewat pengadilan. Tapi, saya tidak ingin itu. (Yang saya inginkan) bagaimana warga Surabaya tidak membayar retribusi double sama PBB," katanya.

Pun apabila warga mendesak agar sertifikat tersebut menjadi SHM maka satu-satunya jalan lewat mekanisme pelepasan aset pemerintah. Yakni, dengan membayar sesuai harga pasar (appraisal).

"Kalau pun harus dilepaskan, jangan sampai ada kerugian negara. Terkait hal itu, juga ada (diatur) perda dan Perwali," katanya.

Penjelasan panjang lebar Mas Eri tersebut tak lantas membuat warga puas. Menjawab respon tersebut, Mas Eri lantas berencana mengajak warga bertemu dengan Kementerian.

Nantinya, pembahasan juga akan dilakukan dengan penegak hukum. "Kami tidak bisa menentukan sendiri. Tapi bagaimana penegak hukum dari KPK, Kejaksaan, Kepolisian, bersama Pemkot. Rencananya, ada pertemuan dengan kementerian," katanya.

"Sehingga ayo berangkat ke kementerian. Nanti diputuskan apa. Nanti dirapatkan juga dengan penegak hukum," katanya.

Dari pertemuan tersebut, diharapkan bisa menemukan titik temu. "Saya mau menjalankan kalau itu putusan pengadilan. Sehingga, ini memang demi kepentingan umat namun tanpa menyalahi aturan. Kalau menyalahi aturan, berpotensi beban di kami. Hal ini pula yang membuat wali kota-wali kota sebelumnya tidak bisa melepas ini," katanya.

"Dari putusan itu, kami jalankan. Kalau tidak (tanpa putusan bersama dan payung hukum), maka bisa masuk kerugian negara atau korupsi. Bisa berangkat (dihukum) awak e dewe (kami semua)," katanya.

Untuk diketahui, permasalahan sengketa lahan Surat Ijo ini telah berjalan puluhan tahun. Pemkot menyebutkan, bahwa lahan tersebut merupakan aset Pemkot.

Oleh karenanya, warga yang mendiami lahan bersertifikat Surat Ijo harus membayar retribusi atau sewa kepada Pemerintah Kota Surabaya. Selain itu, mereka juga membayar pajak bumi dan bangunan yang dipungut pemerintah pusat.

Jumlah lahan yang bermasalah ini cukup besar. Mengutip Surat Wali Kota Surabaya kepada Presiden bernomor 188.45/9393/436.7.11/2020 yang ditandatangani Wali Kota saat itu Tri Rismaharini, jumlah aset yang telah terbit Izin Pemakaian Tanah sebanyak 47.672 persil dengan luasan total
8.043.679,17 meter.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved