Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Tragedi Arema vs Persebaya

Belum Ada Petinggi Polri Jadi Tersangka Tragedi Kanjuruhan, Aksi Sujud Disorot: Maaf pada Siapa?

Mengapa hingga kini belum ada petinggi Polri jadi tersangka tragedi Kanjuruhan? Aksi sujud maaf disoroti.

Penulis: Alga | Editor: Sudarma Adi
Tribun Jatim Network/Purwanto
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tengah melakukan investigasi terkait tragedi Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Jumat (7/10/2022). 

TRIBUNJATIM.COM - Dua petinggi Polri kini telah dicopot dari jabatannya setelah tragedi Kanjuruhan pada Sabtu (1/10/2022).

Adapun dua pejabat tersebut adalah mantan Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat, dan Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Nico Afinta.

Namun menurut peneliti ISESS Bidang Kepolisian, pencopotan ini bukan bentuk tanggung jawab Polri atas tragedi Kanjuruhan.

Sebab sesuai pernyataan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Dedi Prasetyo, pencopotan merupakan mutasi dan promosi biasa yang merupakan langkah umum di institusi Polri.

"Pencopotan Kapolres Malang dan Kapolda Jatim pun tidak bisa dibaca sebagai konskuensi tanggung jawab pada tragedi Kanjuruhan, hanya mutasi dan promosi biasa seperti yang disampaikan Kadiv Humas," kata Bambang Rukminto saat dihubungi Kompas.com, Rabu (12/10/2022).

Baca juga: Kondisi Terkini Korban Tragedi Kanjuruhan Asal Gresik, Mata Tak Terlalu Gelap Meski Masih Memerah

Sejauh ini Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang sudah menetapkan enam orang tersangka.

Namun menurut Bambang, penetapan enam tersangka tersebut hanya menyasar pada aparat keamanan pangkat rendah dan operator pertandingan.

Artinya, kata Bambang, Polri hingga kini belum menentukan siapa sosok yang paling bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan dengan korban tewas mencapai 132 orang tersebut.

"Memang sampai saat ini Polri belum menentukan siapa yang harus dan paling bertanggung jawab pada tragedi ini," ucap Bambang.

Selain itu ia juga menyoroti upaya sujud sebagai wujud permintaan maaf yang sempat dilakukan oleh jajaran kepolisian Mapolresta Malang Kota.

Ia menilai, aksi tersebut juga belum cukup untuk mengembalikan ratusan nyawa yang hilang dalam laga derby Persebaya vs Arema FC.

"Polresta Malang sujud maaf pada siapa?"

"Dalam event itu tidak tampak ada ahli waris korban."

"Dan kalaupun ada, itu pun tidak bisa mewakili ahli waris 132 orang meninggal dan ratusan lainnya yang terluka," tutur Bambang.

Baca juga: Curhat Korban Tragedi Kelam Kanjuruhan, Masih Murung dan Terus Nangis, Keluarga Dendam ke Aparat

Lebih lanjut Bambang menyebut, belum adanya penunjukkan pihak yang paling bertanggung jawab akan menambah preseden buruk bagi institusi Polri.

Polri bisa dinilai gagal melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, seperti amanat UU Nomor 2 Tahun 2002.

"Akibatnya akan jadi preseden buruk."

"Bahwa Polri di bawah Jenderal Listyo Sigit ini memang gagal sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat," jelasnya.

Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol Budi Hermanto, bersama anggota lainnya, tiba-tiba bersimpuh dan bersujud massal untuk menghormati para korban dari tragedi Kanjuruhan(Dok Humas Polresta Malang Kota)
Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol Budi Hermanto, bersama anggota lainnya, tiba-tiba bersimpuh dan bersujud massal untuk menghormati para korban dari tragedi Kanjuruhan(Dok Humas Polresta Malang Kota)

Senada, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari meminta Polri berhenti berdalih soal gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan.

Ia menilai, gas air mata memang menjadi pemicu kepanikan massal yang mengakibatkan penonton berdesakan hingga akhirnya meninggal dunia.

"Lebih baik Polri mengakui bahwa gas air mata adalah pemicu dan penyebab jatuhnya korban," tutur Taufik ke wartawan, Rabu (12/10/2022).

Ia menegaskan, tindakan aparat kepolisian menembakkan gas air mata dalam peristiwa pada Sabtu (1/10/2022), harus diusut tuntas melalui jalur pidana.

"Penggunaan gas air mata oleh personel aparat dalam stadium adalah kesalahan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana," sebutnya.

Taufik menyatakan, gas air mata digunakan untuk membubarkan massa, bukan untuk melumpuhkan atau meredakan kerusuhan.

Maka pihak kepolisian mestinya mempertimbangkan penggunaannya, apalagi dalam situasi ribuan penonton berdesak-desakan.

"Gas air mata tidak dapat pula digunakan pada kerumunan yang tidak dapat berpencar karena akses membubarkan diri yang terbatas," ujarnya.

"Pemahaman dasar ini yang harus dimiliki oleh personel Polri, terlebih yang ditugaskan mengendalikan massa," sambungnya.

Ia menduga ada kelalaian yang dilakukan anggota Polri dalam pemakaian gas air mata di Stadion Kanjuruhan.

Oleh karena itu, para pihak yang berperan sebagai pemberi perintah sampai pelaksana harus dikenai sanksi pidana.

Taufik menjelaskan, para pelaku bisa dijerat dengan Pasal 359 KUHP.

"Sementara personel lain jika memiliki keterkaitan dapat dimintakan pertanggungjawaban etik," pungkasnya.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Taufik Basari (Dok DPR RI)
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Taufik Basari (Dok DPR RI)

Sebelumnya Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo memang mengeklaim bahwa penggunaan gas air mata tidak mematikan meski dipakai dalam skala tinggi.

"Dari penjelasan para ahli dan dokter spesialis yang menangani para korban."

"Baik korban yang meninggal dunia maupun korban yang luka, dari dokter spesialis penyakit dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan juga spesialis penyakit mata."

"Tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata, tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen," papar Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/10/2022).

Terakhir, ia berdalih penggunaan gas air mata yang kedaluwarsa tidak begitu efektif.

Pernyataan Dedi lantas dibantah oleh Komnas HAM dan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).

Komnas HAM menyatakan, gas air mata menjadi pemicu kepanikan penonton yang akhirnya berdesak-desakan di pintu keluar.

Adapun TGIPF menyatakan, gas air mata yang ditembakkan polisi di Stadion Kanjuruhan bersifat mematikan.

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved