TRIBUNJATIM.COM - IF (intermittent fasting) menjadi salah satu diet yang digandrungi dalam beberapa waktu ke belakang. Beberapa orang menilai diet ini membantu mengatur nafsu makan sehingga berat badan mereka lebih terkontrol.
Intermittent fasting sendiri merupakan pola makan yang terbagi atas dua periode, yaitu makan dan puasa.
Periode puasa biasanya berlangsung selama 12-40 jam, tergantung metode yang dipilih.
Mengutip laman Hopkins Medicine, penganut diet ini hanya boleh makan selama waktu yang sudah ditentukan.
Di luar waktu tersebut, mereka wajib berpuasa dan tidak boleh mengonsumsi makanan padat atau minuman yang mengandung kalori.
Selama puasa, tubuh menggunakan simpanan gulanya untuk membakar lemak untuk mengubahnya menjadi energi.
Proses inilah yang membuat berat badan cepat turun.
Lalu, bagaimana cara diet IF?
Apakah ada metode khusus yang dapat diikuti?
Simak penjelasannya berikut ini.
Intermitten fasting, atau juga dikenal sebagai diet intermiten atau pun diet puasa, menjadi salah satu tren kesehatan yang populer.
Berbagai data menunjukkan, diet intermiten tidak hanya dapat menurunkan berat badan, namun juga memperbaiki kesehatan tubuh dan dinilai mampu memperpanjang umur.
Ahli diet terdaftar, Anna Taylor mengungkapkan panjang lebar mengenai diet intermiten, serta kelebihan dan kekurangan diet tersebut.
Diet intermiten fokus mengurangi kalori diet intermiten kerap digambarkan sebagai pola atau siklus puasa.
Diet puasa bukan berarti membuat tubuh merasa lapar, namun mengurangi asupan kalori untuk jangka waktu yang singkat.
Gagasan dari diet ini adalah, tubuh kita merasa puas makan dalam porsi yang lebih kecil sekaligus mengurangi keinginan untuk memakan camilan yang tidak sehat.
Cara kerja diet intermiten
Ada beberapa pendekatan yang efektif untuk menerapkan diet puasa, namun hal itu tergantung dari diri kita.
"Jika kita ingin mencoba diet intermiten, cobalah mencari tahu mana yang terbaik bagi kita," ujar Taylor.
"Kemungkinan diet itu membutuhkan beberapa percobaan dan kesalahan lebih dulu."
Dijelaskan Taylor, sebagian orang dapat berpuasa selama 16 jam dan membatasi waktu makan hanya delapan jam dalam sehari, seperti dari pukul 09.00-17.00.
Sedangkan, beberapa orang mungkin kesulitan berpuasa selama itu dan perlu mengurangi durasi puasa mereka.
Metode diet puasa
Kita perlu mengetahui metode diet intermiten yang cocok agar dapat memertahankan nutrisi dalam diet secara keseluruhan dan tidak merugikan diri sendiri nantinya
"Penurunan berat badan bukanlah pendekatan yang general untuk setiap orang," kata Taylor.
"Diet intermiten mungkin diet berkelanjutan bagi sebagian orang, sedangkan sebagian lain menyadari pendekatan ini tidak cocok bagi mereka."
Taylor menjelaskan beberapa metode diet intermiten yang populer.
1. Makan dengan batasan waktu 16/8 atau 14/10
Pada metode ini, kita mengatur jendela (window) puasa dan makan.
Misalnya, kita berpuasa selama 16 jam dan hanya makan delapan jam dalam sehari.
"Karena kebanyakan orang berpuasa saat tidur, metode ini populer," ungkap Taylor.
"Ini lebih mudah, karena kita memperpanjang puasa semalam dengan melewatkan sarapan dan tidak makan sampai makan siang."
"Metode puasa ini lebih aman bagi banyak orang yang tertarik untuk mencoba diet intermiten pertama kalinya," imbuh dia.
Metode umum untuk cara makan dengan batasan waktu meliputi:
- Metode 16/8: Hanya makan antara pukul 10 pagi hingga pukul enam sore
- Metode 14/10: Hanya makan antara pukul sembilan pagi hingga pukul tujuh malam
Metode ini dapat diulang sesuai keinginan, atau dilakukan sekali atau dua kali seminggu.
Perlu waktu beberapa hari untuk mengetahui mana jendela makan dan puasa yang tepat, apalagi jika kita aktif bergerak atau bangun pagi hari dalam kondisi lapar.
Namun menurut Taylor, sebagian besar kalori sebaiknya dikonsumsi sebelum petang. "Orang cenderung memilih lebih banyak makanan padat kalori dan rendah nutrisi di malam hari." "Metode ini juga memberikan gula darah kesempatan untuk kembali normal saat individu lebih aktif bergerak, sebelum berhenti untuk tidur," katanya. 2. Metode dua kali seminggu (metode 5:2) Pendekatan ini berfokus pada pembatasan kalori di angka 500 kalori selama dua hari dalam seminggu.
Selama lima hari lainnya, kita menjaga pola makan yang sehat dan normal.
Ketika memasuki dua hari puasa, kita hanya mengonsumsi 200 kalori dan 300 kalori.
Fokus utama kita adalah makanan berserat tinggi dan berprotein tinggi untuk membantu tubuh kenyang dan menjaga kalori tetap rendah.
Kita dapat memilih dua hari puasa dengan jeda satu hari, seperti hari Selasa dan Kamis atau Rabu dan Jumat.
Pastikan kita mengonsumsi jumlah makanan yang sama seperti saat kita tidak puasa.
3. Alternate day fasting
Metode ketiga adalah mengubah atau memodifikasi puasa setiap hari.
Contohnya, kita membatasi kalori di hari puasa hingga 500 kalori atau sekitar 25 persen dari asupan kalori normal.
Pada hari di mana kita tidak sedang berpuasa, kita dapat kembali menerapkan diet yang sehat dan teratur.
Namun menariknya, satu temuan studi menunjukkan individu yang mengikuti pola ini selama enam bulan secara signifikan meningkatkan kadar kolesterol LDL (atau kolesterol jahat) setelah enam bulan berhenti diet.
4. Puasa 24 jam
Metode ini melibatkan puasa penuh selama 24 jam yang biasanya hanya dilakukan sekali atau dua kali dalam seminggu.
Kebanyakan orang berpuasa dari waktu sarapan hingga sarapan, atau waktu makan siang hingga makan siang keesokan harinya.
Namun metode ini berisiko menimbulkan efek samping seperti kelelahan, sakit kepala, mudah marah, lapar dan kekurangan energi.
Jika mengikuti metode ini, kita harus kembali ke pola makan normal dan sehat ketika sedang tidak berpuasa.
Berisiko bagi sebagian orang Diet puasa bukanlah diet yang aman bagi sebagian orang, termasuk mereka yang sedang hamil, anak-anak, individu yang berisiko hipoglikemia atau orang dengan penyakit kronis tertentu.
"Jika kita berisiko mengalami gangguan makan, jangan mencoba diet puasa apa pun," saran Taylor.
"Diet intermiten juga diketahui meningkatkan kemungkinan makan berlebihan pada beberapa orang karena pembatasan tersebut."
Kenali pula efek samping yang mungkin menyertai dari pola makan ini, seperti mudah marah, kekurangan energi, rasa lapar terus-menerus, sensitif akan perubahan suhu, serta performa kerja dan aktivitas yang buruk.
Solusinya, hubungi dokter agar mereka dapat mengecek kondisi kesehatan kita dan menentukan apakah diet intermiten adalah diet yang tepat bagi kita atau tidak.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.