Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Hikmah Ramadan

Muhasabah di Senja Ramadan

Ramadan akan segera berlalu, sudahkah kita melakukan muhasabah diri, apakah puasa dan amal ibadah lain diterima Allah SWT

|
Editor: Sudarma Adi
zoom-inlihat foto Muhasabah di Senja Ramadan
Istimewa
M Hasan Ubaidillah, Sekretaris MUI Jawa Timur

Oleh : M. Hasan Ubaidillah 

(Sekretaris MUI Jawa Timur) 

TRIBUNJATIM.COM - Bulan Ramadhan sudah menapaki fase akhirnya.

Masyarakat mulai ramai memadati pusat-pusat perbelanjaan untuk membeli berbagai macam kebutuhan, mulai dari kue lebaran sampai baju lebaran.

Ada juga sebagian masyarakat yang memilih untuk tetap berusaha meramaikan masjid dengan ber I’tikaf, Tadarus, berdzikir dan melakukan shalat sunnah malam.

Itulah gambaran suasana hati masyarakat, ada yang menyambut dengan antusias penuh kegembiraan dan ada juga yang merasa bersedih karena Ramadhan akan segera pergi, mengingat sabda baginda nabi “Seandainya umatku mengetahui keutamaan di bulan Ramadhan, maka sungguh mereka akan berharap setahun penuh Ramadhan"  . 

Ramadhan akan segera berlalu, sudahkah kita melakukan muhasabah diri, apakah puasa yang kita lakukan beserta seluruh amal ibadah yang kita kerjakan diterima oleh Allah SWT, karena Rasulullah SAW mengingatkan kita semua melalui sabdanya : berapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali lapar dan dahaga (HR. An Nasa’i).

Baca juga: Hikmah Ramadan : Taubat yang Diterima

Tentunya kita tidak ingin apa yang disabdakan nabi tersebut menimpa diri kita, untuk itu kita perlu mengerti dan memahami siapakah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang berpuasa tapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja tanpa mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Dalam konteks ini terdapat penjelasan Nabi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ad Dailami, Rasulullah bersabda : Lima hal yang bisa membatalkan pahala orang yang berpuasa yaitu : berdusta (al-kadzibu) , membicarakan aib orang (al-Ghaibah), Mengadu domba (an namimah), melihat dengan Syahwat (An-Nadzru bi al-syahwat), dan sumpah palsu (Yamin al-Ghamus).

Mungkin tidak ada orang yang tidak pernah berdusta sepanjang hidupnya, tentu dengan berbagai macam motif yang melatar belakanginya.

Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Family and Relation Coach rata-rata manusia bisa melakukan kebohongan atau dusta antara 10 sampai 200 kali per hari minimal karena tiga alasan yaitu: Tidak percaya diri (Insecure), sebagai alat perlindungan diri (Self Protection) dan untuk mengontrol persepsi orang lain.

Di zaman yang saat ini dikenal sebagai era Post Truth (Pasca Kebenaran) Kebohongan atau dusta tumbuh subur dan semakin masif, bahkan sudah dalam taraf melampaui kebenaran dengan memanfaatkan dan menggiring emosi dan persepsi masyarakat agar selaras dengan kemauan sesorang yang dibuat melalui platform media social. Dengan demikian kebenaran dan kedustaan dapat dikonstruksi sesuai dengan keinginan seseorang berdasarkan motif dan tujuan tertentu.

Tentunya dengan puasa yang kita lakuakan saat ini, berdusta baik melalui kata-kata yang kita ucapkan ataupun melalui informasi dan berita yang kita tulis dimedia social haruslah dihentikan, karena hal tersebut mengakibatkan hilangnya pahala puasa yang kita lakukan  . 

Sama halnya dengan berdusta, ghibah adalah salah satu perbutan yang harus kita hindari dan jauhkan dari kehidupan kita terlebih ketika sedang menjalankan ibadah puasa. Seringkali kita tidak sadar pembicaraan yang kita lakukan sudah terkatagori ghibah, karena semua pembicaraan terkait dengan orang lain yang tidak disukai orang tersebut adalah ghibah sebagaimana yang telah ditegaskan Rasulullah SAW : Tahukah kalian apakah Ghibah itu ? para sahabat menjawab Allah dan Rasul Nya yang lebih tahu.

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, Engkau membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri saudaramu mengenai sesuatu yang tidak dia sukai. Lantas salah seorang sahabat bertanya, Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan berenar-benar ada pada diri saudaraku ? Rasulullah menjawab, jika yang engkau bicarakan ada pada diri saudaramu, maka sungguh engkau telah menghibahnya. Sedangkan jika yang engkau bicarakan tidak terdapat pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mendustakannya (HR. Muslim).

Halaman
12
Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved