Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kilas Balik

Sosok Pria yang Berjasa Rancang Lambang Garuda Pancasila, Bernasib Tragis Dituduh Pengkhianat

Inilah sosok pria yang berjasa besar pada Republik Indonesia. Jasa pria itu adalah merancang lambang Garuda Pancasila.

Editor: Januar
National Museum of World Cultures untuk Wikimedia Commons
Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara Garuda Pancasila, tapi dia juga dituduh sebagai pengkhianat dan bersekongkol dengan Raymond Westerling. 

Maka Sultan Hamid II memvisualisasikan kelima sila dari Pancasila untuk dijadikan lambang negara.

Pada 10 Januari 1950, dibentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lambang Negara di bawah komando Sultan Hamid II bersama personel lainnya, seperti Mohammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ng. Poerbatjaraka.

Panitia ini bertugas untuk menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan kemudian diajukan ke pemerintah.

Pada akhirnya, Sultan Hamid II dan panitia lain memutuskan untuk menggunakan Garuda Pancasila sebagai lambang negara Indonesia.

Presiden Soekarno kemudian berpidato di hadapan sidang Istana Negara dalam rangka sosialisasi Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1958, tentang Penggunaan Lambang Negara.

Republik Indonesia Serikat (RIS) menetapkan Elang Rajawali-Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara terhitung sejak 11 Februari 1950.

Empat hari kemudian, 15 Februari 1950, Soekarno memperkenalkan lambang negara Garuda Pancasila ke masyarakat untuk pertama kalinya di Hotel Des Indes (sekarang Pertokoan Duta Merlin, Jakarta Pusat).

Hotel Des Indes dipilih sebagai tempat mengumumkan lambang negara Indonesia karena pada masa itu dikenal sebagai hotel paling mewah dan bergengsi di Jakarta.

Dianggap berkhianat

Selain dituduh bersekongkol dengan Westerling dalam peristiwa APRA 1950 di Bandung, Sultan Hamid II juga dituduh membunuh sejumlah menteri walau tak terbukti.

Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II, kepada BBC News Indonesia seperti dilansir Kompas.com, telah menempuh jalan panjang untuk 'memulihkan' nama Sultan Hamid dari tuduhan terlibat peristiwa kudeta Westerling pada 1950.

Melalui penelitian tesis magisternya di Universitas Indonesia, dia menyimpulkan bahwa pria yang meninggal pada 1978 itu hanya berniat, tetapi tidak pernah melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS pada 1950.

Hasil temuan Anshari juga menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer Belanda itu bukan "dalang" peristiwa APRA di Bandung awal 1950.

"Dia bukan orang yang memotori atau bukan orang di belakang penyerangan Westerling atas Divisi Siliwangi di Bandung," katanya.

Segala tuduhan yang dilekatkan pada Sultan Hamid berawal ketika pada 17 Agustus 1950 membubarkan Negara RIS dan kembali kepada Negara Kesatuan.

 

 

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved