Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Nestapa Guru Madura Cuma Dapat Gaji Rp 400 Ribu, Ngaku Upahnya Dipotong Sejak 2022: Melenceng

Pilu itu dirasakan oleh seorang Guru Tidak Tetap (GTT) di Madura. Ia bahkan mengaku jika gaji perbulannya itu dipotong oleh kepala sekolah.

Editor: Torik Aqua
Pexel via KOMPAS.com
Ilustrasi uang - Seorang guru di Madura hanya terima gaji Rp 400 ribu perbulan, ngaku upahnya dipotong kepala sekolah 

Laporan Wartawan TribunJatim.com Hanggara Pratama 

TRIBUNJATIM.COM - Nahas guru di Madura yang mendapat gaji cuma Rp 400 ribu sebulan.

Padahal, gaji aslinya tak segitu.

Pilu itu dirasakan oleh seorang Guru Tidak Tetap (GTT).

Ia bahkan mengaku jika gaji perbulannya itu dipotong oleh kepala sekolah.

Bagaimana kejadian selengkapnya?

Baca juga: Sosok Guru SMK Bikin Geger Imbas Sebut Palestina Teroris, Kini Minta Maaf di Kantor Polisi

Hal itu dialami Wako Wadidi, seorang guru di SDN Tamberu Barat 1, Kecamatan Sokobanah, Kabupaten Sampang, Madura.

Ia mengeluh mendapat perlakuan tak adil oleh oknum Kepala Sekolah (Kepsek), tempatnya kerja.

Wako Wadidi menilai, dirinya mendapat perlakuan tidak adil oleh oknum kepsek setempat.

Di mana upah yang seharusnya didapatkan penuh diduga disunat. 

Padahal sebagai GTT yang sudah memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), seharusnya honor yang diterima Rp750 ribu per bulan.

Namun Wako Wadidi hanya mendapatkannya Rp400 ribu per bulan.

Gaji tersebut diterima sejak tahun 2022 hingga Oktober 2023.

Atas adanya dugaan pemotongan gaji tersebut, Wako Wadidi dengan didampingi kuasa hukumnya terpaksa melapor ke Polres Sampang pada Senin, 20 November 2023.

Kuasa hukum Wako Wadidi, Hendrayana mengatakan, sebenarnya sebagai GTT yang memiliki NUPTK, gaji guru tersebut sudah dianggarkan melalui bantuan operasional satuan pendidikan atau BOSP.

Di dalam penganggaran tersebut, tercantum ditanda terima gaji yang diterima oleh Wako Wadidi sebesar Rp750 ribu, yang telah ditandatangani Kepala Sekolah dan juga bendahara.

"Saat itu Klien kami disuruh tanda tangan, namun honor yang diterima justru melenceng dari penganggaran itu," ujarnya. 

Ia menambahkan, atas persoalan tersebut pihaknya tidak tinggal diam, melainkan mencoba menelusuri.

Ternyata yang ditandatangani kliennya bukanlah pengajuan, melainkan tanda terima.

Sehingga dirinya beranggapan bahwa dokumen tersebut dibuat untuk kebutuhan surat pertanggungjawaban (SPJ).

Di situlah semakin kuat adanya dugaan pemotongan honor.

"Di situ ada pemotongan sebesar Rp350 ribu. Ini dilakukan secara masif sejak 2022. Jadi kami melaporkan perkara ini ke Polres Sampang," terangnya.

Baca juga: Oknum Guru Ngaji Semarang Lecehkan 17 Muridnya, Ketahuan Setelah 3 Tahun, Akui Kecanduan Video di HP

Dengan begitu, pihaknya berharap agar perkara tersebut menjadi atensi dari kepolisian, begitupun pemerintah daerah dan legislatif.

Sebab dikhawatirkan terdapat hal serupa yang terjadi di lembaga pendidikan lain di Kabupaten Sampang.

"Kami harap persoalan ini cepat ditangani dan terungkap agar tidak terjadi ke GTT lainnya di Kabupaten Sampang," harapnya. 

Terpisah, Sekretaris Dispendik Sampang, Muhammad Imran menyampaikan, telah mengetahui persoalan tersebut dan sejauh ini kasus sudah bisa ditangani.

"Saya telah koordinasi langsung dengan pihak terkait dengan mendatangi sekolah, pekan lalu," katanya.

Menurutnya, gaji yang dipotong itu sudah dikembalikan pada dua guru honorer lain yang memiliki NUPTK, hanya saja yang bersangkutan tidak mau menerima dengan alasan tertentu. 

"Pemotongan upah GTT digunakan untuk membayar gaji guru honorer lainnya."

"Ketetapan itu dijelaskan pada GTT lain dan kemungkinan saudara Wako Wadidi ini tidak dijelaskan mengenai hal itu," pungkasnya.

Kuasa Hukum Hendrayana (tengah) saat menjelaskan kasus dugaan pemotongan gaji yang dialami kliennya, Wako Wadidi, Rabu (22/11/2023) dalam artikel berjudul
Kuasa Hukum Hendrayana (tengah), saat menjelaskan kasus dugaan pemotongan gaji yang dialami kliennya, Wako Wadidi, Rabu (22/11/2023). (TRIBUNJATIM.COM/HANGGARA PRATAMA)

Hal serupa juga dialami seorang pak guru bernama Lukas yang ternyata tak pernah terima gaji meski 10 tahun mengajar di sekolah.

Bahkan Pak Lukas tinggal di perpustakaan sekolah bersama keluarganya.

Perpustakaan sekolah tersebut dialihfungsikan sebagai tempat tinggal sementara untuk para guru.

Kondisi yang sangat tidak mudah, mungkin itu yang menggambarkan kondisi guru di perbatasan negara yang sering kali serba terbatas.

Bukan saja sulitnya fasilitas mengajar, tapi gaji yang sering telat.

Hal ini seperti yang dialami para guru di SMP Negeri Wini.

SMP ini terletak di Humusu C, Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sekolah ini berada di perbatasan Indonesia-Timor Leste.

Ada sebanyak 235 siswa yang bersekolah di SMP Negeri Wini pada tahun ajaran 2023/2024.

Sementara total tenaga pengajar berjumlah 31 guru yang terdiri dari 14 guru PPPK dan 17 tenaga honorer.

Baca juga: Nasib Siswa SMP Lamongan Bacok Bu Guru Gegera Ditegur Tak Pakai Sepatu, Mediasi Temui Jalan Buntu

Sudah 10 tahun terakhir, Lukas Kolo (37) mengabdi di SMP Negeri Wini.

Ia menjalani profesinya sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri Wini dengan sukacita.

Pada Agustus 2023 lalu, Lukas Kolo menerima Surat Keputusan (SK) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Namun hingga saat ini ia belum menerima gaji.

"Saya terima SK tanggal 7 Agustus 2023, sampai hari ini belum terima gaji. Mungkin pemerintah masih urus, karena terlalu banyak peserta," ungkap Lukas, seperti dikutip dari Kompas.com

Lukas tidak mengetahui secara pasti kapan akan menerima gaji, saat ini dirinya hanya bisa menunggu saja.

Untuk bertahan hidup, Lukas mengandalkan kerja sampingan dengan menjadi pekerja kebun dan menjual hewan.

Di SMP Negeri Wini ini, Lukas bersama keluarganya sengaja tinggal di ruang perpustakan yang dialihfungsikan menjadi mes.

Hal tersebut demi menghemat biaya transportasi dari rumahnya di Bakitolas yang jaraknya sekitar 25 kilometer ke SMP Negeri Wini.

"Pulangnya kalau ada keperluan saja. Ya kadang satu bulan sekali. Yang menginap di mes ada tiga guru, termasuk saya," ungkapnya. 

Dia mengaku harus membuat alat peraga karena tak memiliki lab bahasa.

"Sejauh ini, kami hanya bisa pakai alat peraga. Kami kreatif sendiri untuk membuat gambar atau poster. Kami sediakan dan kami paparkan agar mereka tahu tentang apa," tuturnya.

Pak Guru Lukas yang tak terima gaji 10 tahun (Kompas.com)
Pak guru Lukas yang tak terima gaji 10 tahun (Kompas.com)

Lukas pun meminta pemerintah Indonesia memperhatikan tenaga pengajar di pelosok negeri yang jauh dari kata sejahtera.

Apalagi di wilayah perbatasan banyak tenaga guru honorer.

"Karena di sini banyak guru honorer. Tentunya pemerintah harus membuka mata. Karena, tanpa guru, dunia bisa mati. Guru yang bisa mencerdaskan bangsa," katanya.

"Kebutuhan sangat menuntut, tapi pemerintah kurang memperhatikan, itu kendala kami di situ. Jadi, kami mohon supaya, untuk ke depan, perhatikan guru," ucap Lukas melanjutkan.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved