Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Viral Perundungan di Kalangan Pelajar, Bagaimana Cara Mendidik Anak Agar Kelak Tak Bully Teman?

Belakangan ini perundungan di kalangan pelajar marak terjadi. Lantas, bagaimana cara mendidik anak agar tak membully temannya?

Editor: Olga Mardianita
Pexels
Ilustrasi perundungan atau bullying. Bagaimana cara mendidik anak agar tak mem-bully teman atau orang lain? 

TRIBUNJATIM.COM - Belakangan ini media sosial dihebohkan dengan perundungan atau bullying di kalangan pelajar. 

Kemudian diketahui bahwa video viral itu melibatkan siswa SMPN di Gowa, Sulawesi Selatan. 

Korban sampai terkapar setelah dihujani pukulan dari pelaku. 

Tak hanya itu, dokter muda juga diduga mengakhiri hidup setelah mendapat bullying dari senior. 

Sebab itu, pertanyaan melintas di kepala. 

Apa yang bisa dilakukan orang tua untuk mencegah anaknya menjadi tukang bully? 

Selengkapnya, simak penjelasannya di bawah ini. 

Informasi berita menarik lainnya di Google News TribunJatim.com

Baca juga: Inilah Sosok WD Bocah SD di Indramayu yang Meninggal saat Sekolah, Anak TKW Diduga Jadi Korban Bully

Pertama, para orang tua perlu mengetahui bahwa konsep bully harus diajarkan pada anak.

Pasalnya, mereka belum tentu tahu dan mengerti bahwa tindakannya adalah bentuk kekerasan yang dapat melukai korban.

“Penting untuk mengajari anak-anak apa saja yang dimaksud dengan perilaku bullying karena tidak semua anak menyadari tindakannya sebagai perilaku membully. Bisa saja mereka menganggap itu sebagai candaan biasa,” jelas psikolog anak Amy Lee, PhD. 

“Dan ketika orangtua melihat perilaku bullying yang dilakukan anak, kita perlu memastikan bahwa hal tersebut dihentikan.”

Dr. Lee berbagi beberapa cara untuk mendorong komunikasi yang terbuka dengan anak, dan menjelaskan cara menghentikan penindasan.

Apa itu bullying?

Dalam beberapa tahun terakhir, kata “bullying” menjadi cara yang lebih umum untuk menggambarkan bagaimana seseorang memperlakukan orang lain secara negatif.

Dr. Lee mendefinisikannya sebagai “perilaku agresif berulang yang ditujukan pada seseorang atau kelompok untuk menggunakan kekuasaan atas orang atau kelompok tersebut.”

Hal ini termasuk mengendalikan, melecehkan, melakukan kekerasan fisik, dan mengintimidasi orang lain.

Ketika kita memikirkan seperti apa pem-bully itu, kemungkinan kita membayangkan seorang anak yang bertubuh besar yang suka mengganggu anak lain di taman bermain sekolah. Namun faktanya, siapa pun bisa menjadi pelaku intimidasi, tanpa memandang jenis kelamin, ras, usia, atau ukuran tubuh.

Dan penindasan dapat terjadi di mana saja – mulai dari kelas olahraga hingga secara online. Cyber bullying bahkan cenderung terjadi secara rahasia dan lebih sulit dideteksi.

Baca juga: Jadi Villain Drama Korea Marry My Husband, Song Ha Yoon Ternyata Pelaku Bully? Ini Jawaban Agensi

“Saya pikir satu hal yang harus dipahami orangtua adalah bahwa anak-anak bisa menjadi pelaku bully dan korban – semuanya terjadi pada saat yang sama,” jelas Dr. Lee. 

“Seorang anak mungkin merasa tidak aman terhadap hal lain dan menggunakan penindasan sebagai cara untuk merasa penting dan diperhatikan.”

Dan jika anak Anda menjadi seorang pelaku bully, penting untuk menyadari bahwa Anda tidak mempunyai anak yang nakal — anak mungkin hanya menggunakan penindasan sebagai strategi untuk menghadapi situasi atau melindungi diri mereka sendiri.

Tips mendidik anak agar tidak menjadi pelaku bully

Kapan sebaiknya kita mulai berbicara dengan anak tentang perilaku bully? Dr. Lee menyarankan melakukannya sejak dini dengan mengajari anak beberapa keterampilan dasar – sejak usia prasekolah ketika anak mulai menjalin persahabatan dengan orang lain.

“Seiring bertambahnya usia, kita harus mulai mengajari anak tentang mengendalikan emosi,” kata Dr. Lee. “Kita perlu melakukan percakapan berulang-ulang – ini adalah proses berkelanjutan untuk mengajari mereka tentang pengendalian diri sosial dan emosi.”

Berikut beberapa hal yang dapat kita lakukan.

1. Tanamkan rasa hormat dan kebaikan

Kita mungkin sering mengajarkan pada anak soal bagaimana menghormati orang dewasa. Nah, pastikan juga mengajarkan bahwa mereka perlu menghormati semua orang, termasuk anak-anak lain, dan bahwa mereka perlu memperlakukan orang dewasa dengan baik.

“Kita harus selalu mengajarkan tentang kebaikan dalam setiap interaksi dengan anak-anak,” kata Dr. Lee. “Memuji perilaku dan tindakan mereka sebagai baik, suka membantu, dan lembut adalah cara yang baik untuk menanamkan kebaikan dan rasa hormat.”

2. Ajarkan bahasa emosional

Belajar sejak usia dini bahwa kita semua memiliki emosi dapat membantu anak melatih cara berkomunikasi dengan orang lain dan memahami perasaan orang lain.

Beri label pada emosi untuk membantu anak-anak mengidentifikasi apa yang mereka rasakan ketika sesuatu terjadi. Misalnya, kita bisa berkata, 'Itu membuatmu sangat marah. Ibu tahu kamu tidak suka kalau Ibu mengambil mainanmu.'

"Kita juga harus memberi label pada pengalaman emosional yang positif seperti “Aku merasa senang saat kamu memelukku,” atau “Kami merasa bahagia saat bermain bersama,'” ujar Dr. Lee. 

“Ini juga membantu anak-anak memahami bahwa orang lain juga mempunyai kondisi emosional.”

Baca juga: Nasib Pelaku Perundungan Siswa SMPN di Gowa usai Bupati dan Polisi Turun, Keluarga Korban Tak Terima

3. Tekankan sisi positif anak

“Berikan banyak perhatian pada perilaku positif. 'Terima kasih telah membantu. Terima kasih telah mendengarkan,'” saran Dr. Lee. “Saat anak suka menentang dan tidak pernah mendengarkan, hal pertama yang perlu diajarkan kepada mereka adalah perhatian positif.”

Dia menambahkan bahwa untuk setiap koreksi atau hukuman yang kita berikan, berikan lima hingga 10 contoh untuk memberi tahu mereka apa yang mereka lakukan dengan benar.

Perhatian positif jauh lebih kuat dalam membentuk perilaku dibandingkan perhatian negatif, hukuman atau koreksi.

Dengan cara ini, anak akan memandang dirinya secara positif dan juga memahami perilaku yang positif. Bila ia selalu dicap negatif, hal itulah yang akan menjadi "brand" dirinya.

4. Ajak menenangkan diri

Anak bukanlah malaikat yang sempurna terus menerus, jadi pada saat-saat ketika mereka mungkin mengalami masalah, perdebatan atau kemarahan pada orang lain, Dr. Lee mengatakan jangan terlalu memperhatikan perilaku negatifnya.

“Gunakan waktu istirahat sebagai cara untuk menenangkan diri. Hilangkan semua perhatian, dan berikan waktu pada anak untuk menenangkan diri,” sarannya.

“Segera keluarkan anak dan objek penyebab konflik dari situasi tersebut tanpa banyak bicara. Setelah semuanya beres, kita baru dapat memecahkan masalah.”

5. Perkenalkan cara memecahkan masalah

Jika anak berulang kali memukul adiknya, dan sudah berulang kali diberi tahu untuk menghentikannya, namun perilaku tersebut terus berlanjut, coba lakukan pemecahan masalah bersama-sama untuk mencari tahu alasannya.

“Tanyakan, ’Kamu terus memukuli adikmu. Ada apa?’ Dengan melakukan ini, kita mengajari anak untuk menyebutkan masalahnya, dan kita mendapatkan sudut pandang mereka,” jelas Dr. Lee. “Kemudian, dengan berbekal gambaran lengkap – mungkin sang adik merusak mainan saudaranya – kita dapat menemukan solusi bersama-sama.”

6. Kenali teman-teman mereka

Perhatikan lingkaran pertemanan anak. Ini bukan berarti menguping percakapan mereka, namun amati bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain. Hal tersebut dapat membantu orangtua mempelajari banyak hal tentang dinamika dalam grup.

“Orangtua adalah guru pertama bagi anak-anak,” kata Dr. Lee. “Orangtua juga dapat terus mengajarkan tentang kepedulian satu sama lain dengan menjadi teladan positif bagi teman-teman anak mereka.”

Baca juga: Kasus Perundungan Siswa SMP di Banyuwangi, Unggahan Korban Berisi Tantangan Berkelahi Jadi Pemicu

7. Bagaimana jika anak kita yang jadi korban?

Bolehkah kita mengajarkan anak untuk membalas? Jawaban singkatnya adalah tidak.

“Perilaku agresif tetap tidak bisa diterima bahkan jika seseorang menyakiti kita terlebih dahulu,” kata Dr. Lee. “Agresi mungkin tampak seperti solusi jangka pendek, namun pada akhirnya dapat menimbulkan masalah yang jauh lebih besar dalam kehidupan. Masyarakat menghargai pengendalian diri dan ketegasan.”

Jadi, meskipun mungkin ada percikan kemarahan spontan, penting bagi mereka untuk belajar bagaimana mengendalikan diri mereka sendiri dengan cara yang tidak melanggengkan pola perilaku negatif tersebut. Dr. Lee memberikan beberapa contoh:

Bersama teman-temannya, mereka bisa belajar menolak perilaku bully dan berkata, “Hentikan!” atau “Kita tidak boleh melakukan itu” jika sesuatu sudah keterlaluan.

Jika mereka ditindas, “Jangan berikan perhatian kepada si penindas, jangan beri mereka apa pun,” saran Dr. Lee. Anak-anak dapat memperoleh kembali kekuatannya dengan tidak bereaksi.

Namun bagaimana jika anak sudah remaja dan kita merasa mereka mungkin menindas orang lain? Tidak ada kata terlambat untuk mulai menerapkan strategi ini. Dan ada banyak sumber daya untuk membantu kita mengajarkannya.

“Guru pembimbing di sekolah, penegak hukum, profesional kesehatan mental, dan dokter anak semuanya mempunyai strategi yang baik untuk membantu orangtua dan anak-anak – apa pun situasinya,” ujar Dr. Lee.

----

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Berita Jatim dan berita viral lainnya.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved