Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Hikmah Ramadan 2025

Puasa dan Kepedulian Sosial

Puasa merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada umat manusia dari generasi ke generasi

Editor: Sudarma Adi
zoom-inlihat foto Puasa dan Kepedulian Sosial
ISTIMEWA
Drs. H. Ahsanul Haq, M.Pd.I. sebagai Ketua MUI Jawa Timur Bidang Ukhuwah, Katib Syuriyah PWNU Jawa Timur & Wakil Ketua II BAZNAS Jawa Timur

Memaknai keberkahan dalam puasa Ramadhan

“Bulan Ramadhan, bulan penuh keberkahan.” Kiranya begitulah slogan yang sering dikemukakan dan diperdengarkan kepada kita ketika memasuki bulan suci Ramadhan. Slogan tersebut bukan sekedar kata mutiara buatan orang biasa melainkan berasal dari sabda Nabi Muhammad Saw. sebagaimana termaktub dalam Kitab Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam sabdanya, Rasulullah menyebutkan, “Telah datang bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, maka Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa pada bulan itu. Saat itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, para setan diikat dan pada bulan itu pula terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.”

Berdasarkan hadis tersebut, para ulama berpendapat bahwa keberkahan sejatinya selalu ada pada setiap amal saleh yang dikerjakan oleh umat muslim. Hanya saja, keberkahan tersebut menjadi berlipat ganda nilainya ketika dilakukan di dalam bulan Ramadhan terlebih jika seorang muslim tersebut beruntung mendapatkan berkah malam lailatul qodar. Pun demikian, ulama juga memberikan peringatan bahwa dosa-dosa yang sengaja dilakukan pada bulan tersebut berpotensi dilipatgandakan pula azabnya karena iblis dan setan telah dibelenggu terlebih dahulu oleh Allah SWT.

Dalam literatur bahasa Indonesia, keberkahan atau berkah merupakan kata serapan dari kata barokah (بركة) yang dalam literatur bahasa arab acap kali dimaknai sebagai  tambahnya  kebaikan  (الخير  زيادة).  Para  ulama  menjelaskan  bahwa  makna tambahnya kebaikan itu tidak berarti hanya mencakup hal yang bersifat materi seperti capaian kesuksesan, melimpahnya harta kekayaan ataupun tingginya pangkat kekuasaan, tetapi lebih luas dari itu keberkahan juga mencakup tambahnya kebaikan dalam hal non materi seperti tenangnya hati, tenteramnya jiwa dan terpeliharanya kesehatan badan. Keduanya, baik materi maupun non materi, bermuara pada satu tujuan agung di mana tambahnya kebaikan tersebut menjadikan seorang hamba semakin mendekat kepada Allah SWT.

Sebagaimana telah disebut di atas, puasa pada batasan tertentu dalam cakupan ilmu fikih bermakna menahan diri dari kegiatan yang bersifat fisik seperti makan, minum dan berhubungan badan dengan pasangan yang halal sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. Namun sejatinya puasa tidak terbatas pada aktivitas berjangka waktu tersebut.

Dalam cakupan yang lebih luas, puasa merupakan sarana terbaik bagi umat Islam untuk melatih kesabaran dan kontrol atas jiwa dan raganya. Dalam konteks ini, momentum puasa Ramadhan merupakan medan pelatihan terbaik sebagai kawah candradimuka masyarakat muslim guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dengan harapan setelah “lulus” dari bulan Ramadhan, mereka dapat kembali menjadi pribadi yang fitri: lembut hatinya, bijak dalam bertindak dan sopan dalam bergaul dengan sesamanya. Dalam keadaan fitrah tersebut, cahaya hidayah dari Allah akan semakin mudah masuk ke dalam hati nurani mereka lalu memancar melalui tindak tanduk dan tutur kata yang baik. Inilah hakikat keberkahan dalam ibadah puasa.

Tingkatkan kepedulian sosial, raih berkah puasa secara optimal

Dalam ajaran agama Islam, terdapat sebuah kaidah fikih yang berbunyi ‘al- Muta’addī afdhal min al- Qāṣir’, yang berarti sebuah perbuatan yang berdampak positif dan bermanfaat dalam skala luas itu lebih utama daripada perbuatan yang berdampak positif dan bermanfaat dalam skala yang terbatas.

Kaidah ini merupakan salah satu kaidah kulliyah (umum) dalam ilmu fikih yang menunjukkan keutamaan amal saleh yang berdampak luas daripada amal yang dampaknya terbatas. Ini tidak bermakna bahwa amal yang berdampak terbatas tersebut adalah salah. Sebaliknya, kaidah ini menunjukkan bahwa seseorang dapat memaksimalkan amalnya secara optimal dengan memperluas cakupan manfaat yang dihasilkan. Dari yang awalnya hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, menjadi manfaat bagi dirinya dan orang lain di sekitarnya.

Dalam konteks ibadah puasa, ketika seorang yang sedang berpuasa telah memenuhi syarat dan rukunnya serta ikhlas dalam menjalaninya maka ia berhak atas pahala puasanya. Ia berhak mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah beserta nikmat lain yang telah dijanjikan, namun itu hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri.

Apabila merujuk pada ketentuan kaidah di atas, seseorang tersebut sampai pada tahap al- Qāṣir di mana hanya ia sendiri yang merasakan manfaat dari amal saleh yang dilakukan. Jika orang tersebut mau, ia dapat memperluas manfaat dari ibadah puasanya sehingga menjadi amal yang berdampak luas dan Islam telah memberikan tuntunan dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadis Nabi Muhammad Saw. dan atsar para Sahabat.

Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa Sahabat Anas bin Malik pernah menemani Rasulullah Saw. ketika ada sebuah pertanyaan yang diajukan kepada beliau perihal sedekah yang terbaik, lalu Nabi pun menjawab: ”Sedekah di bulan Ramadhan.” Secara letterlijk, hadis tersebut telah dengan jelas dan lugas menyebutkan bahwa bulan Ramadhan tidak hanya tentang ibadah puasa dalam pengertian yang terbatas pada laku spiritual individu.

Lebih luas dari itu, Ramadhan adalah bulan berbagi. Statement ini agaknya dapat ditemukan dalilnya dalam riwayat lain di mana Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Barang siapa yang memberi makan (untuk buka puasa) orang yang sedang berpuasa, maka ia berhak atas pahala puasa orang tersebut tanpa mengurangi pahala puasa yang ia lakukan.”

Berdasarkan beberapa riwayat di atas, kiranya dapat ditarik benang merah bahwa jika dalam pengertian yang terbatas puasa dimaknai sebagai menahan diri, maka dalam pengertian yang luas puasa dapat dimaknai sebagai menahan diri dan melapangkan urusan orang lain.

Dengan kata lain, kesalehan dalam spiritual dalam ibadah puasa, dapat dimaksimalkan secara optimal dengan meningkatkan kesalehan sosial. Tentu, makna sedekah di sini tidak terbatas pada pemberian makanan untuk berbuka puasa. Memberi santunan kepada fakir miskin dan anak yatim, memudahkan dan meringankan urusan orang lain, memberikan peluang dan membuka lapangan pekerjaan kepada para pencarinya serta mengapresiasi karya dan kinerja karyawan dengan layak juga merupakan sedekah yang dapat menjadi perantara optimalnya keberkahan dalam ibadah puasa.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved