Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Beda Pernyataan Fadli Zon dengan Presiden Ke-3 RI Soal Sejarah 1998, Bambang Pacul: Jangan Sok Bener

Kritik pernyataan Fadli Zon soal sejarah 1998, Bambang Pacul sarankan simak pidato Presiden Ke-3 RI, BJ Habibie.

Editor: Hefty Suud
KOLASE KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA - Tribunnews/Jeprima
SEJARAH 1998 - Fadli Zon (foto kanan) menyebut tidak ada peristiwa pemerkosaan massal pada tahun 1998, saat kementerian yang dipimpinnya bakal melakukan penulisan sejarah. Wakil Ketua MPR, Bambang Wuryanto (foto kiri) sarankan Sang Menteri Kebudayaan menyimak pidato Presiden Ke-3 RI BJ Habibie. 

TRIBUNJATIM.COM - Pernyataan Fadli Zon soal tidak ada pemerkosaan massal 1998, jadi sorotan. 

Fadli Zon menyebut tidak ada peristiwa pemerkosaan massal pada tahun 1998, saat kementerian yang dipimpinnya bakal melakukan penulisan sejarah.

Menteri Kebudayaan dalam kabinet Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tersebut bun banjir kritik atas pernyataannya. 

Ia pun diberi peringatan keras oleh Wakil Ketua MPR, Bambang Wuryanto

Pria yang akrab disapa Bambang Pacul ini menyarankan Fadly Zon menyimak pidato Presiden Ke-3 RI BJ Habibie tentang pemerkosaan massal 1998.

“Subjektivitas akan mempengaruhi. Ini yang disadari. Jangan kemudian sok bener-beneran, enggak bisa, ya. Begitulah logika dunia wilayah timur, dunia wilayah timur, ada rasa... Artinya soal rasa sangat amat penting di wilayah dunia timur. Jadi jangan sok bener sendiri, oke,” kata Ketua DPD PDIP, Bambang Pacul dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/6/2025).

"Soal penulisan sejarah ini, kan subjektivitas pasti ikut campur. 100 persen ikut campur subjektivitas, kan begitu. Jadi siapapun yang akan menulis pasti akan ada pro kontranya," imbuhnya.

Bambang Pacul pun mengingatkan agar siapa pun tidak merasa paling benar dalam melihat sejarah.

Terlebih, dalam konteks budaya masyarakat Indonesia yang masih sangat mengedepankan perasaan atau rasa.

Bambang pun berpandangan bahwa pernyataan Fadli layak dibandingkan dengan fakta yang pernah diungkap secara resmi, termasuk lewat pernyataan Presiden RI saat itu, yakni BJ Habibie.

Baca juga: Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Sejumlah Pejabat Dikukuhkan Sebagai Warga Kehormatan Suku Tengger 

“Kalau terkait dengan, mohon maaf, terkait dengan tidak ada pemerkosaan, ya silakan dibaca Pak Habibie. Waktu itu Presiden Habibie, de jure Presiden, statement-nya apa? Ya silakan dibaca, saya enggak mau kontradiksikan lah sampean baca, itu Presiden de jure, kan begitu,” tutur Bambang.

"Bahwa subjektivitas Pak Fadli Zon mau mengambil cara yang berbeda, ya dipersilahkan. Nanti kan ditabrakkan dengan ayat, fakta. Kita kan susah hari ini kalau hanya ngotot-ngototan tok, kan gitu loh,” sambungnya.

Meski begitu, Bambang menekankan bahwa polemik perbedaan pandangan terkait sejarah tidak bisa diselesaikan dengan “ngotot-ngototan” semata.

Pasalnya, setiap penulisan sejarah ataupun tafsirnya tak bisa lepas dari sudut pandang pribadi satu sama lain.

"Kalau ngotot-ngototan ya kita bikin sejarah kita sendiri dengan fakta yang kita punya sendiri. Just as simple as that. Woooo iya toh... simpel-simpel saja,” ucapnya.

Ketua Bappilu PDIP Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, Kamis (28/3/2024).
Ketua Bappilu PDIP Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, Kamis (28/3/2024). (KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA)

Baca juga: Menguak Jejak Kelahiran Bung Karno di Jombang, Peneliti Dukung Rencana Penulisan Ulang Sejarah

Sebelumnya diberitakan, Fadli Zon menyebut tidak ada peristiwa pemerkosaan massal pada tahun 1998, saat kementerian yang dipimpinnya bakal melakukan penulisan sejarah.

Pernyataan ini dikritik banyak pihak, termasuk oleh aktivis perempuan yang terjun langsung menangani korban pada tahun kelam itu.

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang mempertanyakan kebenaran kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 dan menyebutnya sebagai “rumor”.

Koalisi mendesak Fadli Zon segera mencabut ucapannya secara terbuka dan meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban.

"Menuntut Fadli Zon untuk mencabut pernyataannya secara terbuka, memberikan klarifikasi, dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM, khususnya kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 dan seluruh perempuan Indonesia yang berjuang membersamai korban untuk menegakkan keadilan," tulis Koalisi Sipil, dikutip dari laman resmi Kontras, Senin (16/6/2025).

Dalam pernyataan resminya, Koalisi menyebut pernyataan Fadli yang disampaikan dalam wawancara video berjudul “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah” di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni sebagai bentuk manipulasi sejarah dan pelecehan terhadap perjuangan korban kekerasan seksual Mei 1998.

“Pernyataan ini mencederai upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban serta berpotensi melanggengkan budaya impunitas," ungkap Koalisi.

Baca juga: Menbud Fadli Zon Sebut Indonesia Bakal Punya Sejarah Nasional Baru pada Hari Kemerdekaan RI ke-80

Fadli Zon Ogah Minta Maaf

PENULISAN ULANG SEJARAH INDONESIA - Fadli Zon, saat wawancara khusus bersama News Director Tribun Network Febby Mahendra Putra di Fadli Zon Library, Jakarta, pada Senin (14/8/2023). Kini Kementerian Kebudayaan akan menulis ulang sejumlah sejarah Indonesia.
PENULISAN ULANG SEJARAH INDONESIA - Fadli Zon, saat wawancara khusus bersama News Director Tribun Network Febby Mahendra Putra di Fadli Zon Library, Jakarta, pada Senin (14/8/2023). Kini Kementerian Kebudayaan akan menulis ulang sejumlah sejarah Indonesia. (Tribunnews.com/Irwan Rismawan)

Menteri Kebudayaan Fadli Zon ogah minta maaf soal pernyataannya tidak ada pemerkosaan massal pada 1998. 

Namun dalam pernyataan terbarunya Senin (16/6/2025), Fadli Zon tetap kukuh dengan pernyataannya yang masih menyangkal kasus pemerkosaan massal 1998.

Pasalnya Fadli mengatakan, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal kata massal tersebut. 

Bahkan, sebut Fadli, laporan tim gabungan pencari fakta (TGPF) ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid, baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian, atau pelaku. 

Menurut dia, perlu kehati-hatian dan ketelitian dalam menyampaikan sejarah lantaran menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. 

Ia khawatir ketidakakuratan fakta malah dapat mempermalukan nama bangsa sendiri. 

“Segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” tegas Fadli seperti dimuat Kompas.com.

Fadli mengeklaim pernyataannya dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”, yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat. 

Dia bilang, pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal. 

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” kata Fadli. 

Dia menyebut, istilah ‘massal’ juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik. 

“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun, terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” kata Fadli.

Namun demikian dia menekankan bahwa pernyataannya tersebut tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru-hara 13-14 Mei 1998.

“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini,” kata Fadli.

“Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru-hara 13-14 Mei 1998,” ucap dia. 

Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com

Berita tentang Fadli Zon lainnya

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved