6 Larangan Malam 1 Suro, Tradisi dari Kerajaan Mataram Islam, Berdampak Buruk Jika Melanggar?
Masyarakat Jawa akan memperingati Malam 1 Suro pada Kamis malam, 26 Juni 2025. Ada beberapa pantangan di momen sakral ini.
Larangan menggelar acara pernikahan di malam 1 Suro sudah sangat umum, ini termasuk larangan menggelar acara atau hajatan lainnya di malam satu Suro. Seperti hajatan sunatan, hajatan kelahiran, dan hajatan sejenisnya.
Mengapa larangan malam 1 Suro ini ada? Dalam buku berjudul Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) oleh Wahyana Giri, malam 1 Suro adalah malam yang suci serta bulannya penuh rahmat.
Di malam 1 Suro, beberapa orang Jawa Islam percaya, ini momen yang tepat mendekatkan diri kepada Tuhan bisa dengan cara membersihkan diri serta melawan nafsu manusiawinya.
Sejarah 1 Suro

Tradisi peringatan 1 Suro bermula pada masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam.
Dalam sistem penanggalan Jawa, bulan Suro dimaknai sebagai bulan yang penuh kesucian dan diyakini memiliki kekuatan spiritual yang tinggi.
Selama bulan ini, masyarakat Jawa—terutama yang masih memegang nilai-nilai Kejawen—dianjurkan untuk melakukan perenungan diri, serta berdoa agar diberi keselamatan dan keberkahan dalam menyongsong tahun yang baru.
Karena nilai sakral inilah, muncul sebuah larangan tidak tertulis yang menyatakan bahwa menyelenggarakan pesta atau acara besar pada bulan Suro dianggap kurang tepat.
Larangan ini bukan sekadar mitos. Berdasarkan catatan sejarah, Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja ketiga Mataram Islam yang memerintah pada 1613–1645, adalah tokoh penting di balik lahirnya kalender Jawa yang dipadukan dengan unsur kalender Hijriah.
Penyatuan kedua sistem kalender ini terjadi pada Jumat Legi, Jumadil Akhir 1555 Saka, bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Sultan Agung ingin menciptakan satu momentum khusus bagi seluruh rakyat—dari berbagai lapisan—untuk menyucikan diri dari hal-hal negatif dan mengevaluasi perjalanan hidup mereka.
Maka, bulan Suro pun dipilih sebagai waktu yang tepat untuk memperkuat sisi batiniah masyarakat, jauh dari hiruk-pikuk urusan duniawi.
Dari sinilah asal muasal mengapa masyarakat Jawa menghindari pesta meriah di bulan Suro, dan lebih memilih menarik diri untuk introspeksi dan mendekatkan diri secara spiritual.
Hingga kini, nilai-nilai tradisi Suro masih dijaga dan diwariskan, terutama di kota-kota seperti Yogyakarta dan Surakarta (Solo).
Bahkan, berbagai rangkaian acara bulan Suro tak hanya menjadi bagian dari warisan budaya, tapi juga telah menjadi daya tarik wisata yang kuat di kedua daerah tersebut.
Berita Viral lainnya
Naik Pitam Gegara Minta Bayaran Jadi Pemandu Lagu, Kakek Nganjuk Aniaya Kekasih Pakai Asbak dan Bata |
![]() |
---|
Turnamen Golf Semarak Kemerdekaan 2025 Meriah, PGI Gresik Resmi Dikukuhkan |
![]() |
---|
Daftar Hitam Menunggu Penumpang Lion Air yang Teriak Bom dan Bawa Pemantik, Latar Belakang Terkuak |
![]() |
---|
Keuletan Ichwan Pengrajin Burung Garuda di Jombang, Menjaga Identitas Bangsa Lewat Ukiran Kayu |
![]() |
---|
Emosi Gegara Sering Dibully, Kakek Jember ini Bacok Tetangganya hingga Pingsan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.