Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

6 Larangan Malam 1 Suro, Tradisi dari Kerajaan Mataram Islam, Berdampak Buruk Jika Melanggar?

Masyarakat Jawa akan memperingati Malam 1 Suro pada Kamis malam, 26 Juni 2025. Ada beberapa pantangan di momen sakral ini.

Editor: Hefty Suud
Tribun Jateng/Khoirul Muzakki
LARANGAN MALAM 1 SURO - Foto ilustrasi pernikahan, salah satu acara yang dilarang digelar pada 1 Suro. Berikut daftar larangan malam 1 Suro lainnya. Untuk diketahui, 1 Suro tahun ini jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025.  

Larangan menggelar acara pernikahan di malam 1 Suro sudah sangat umum, ini termasuk larangan menggelar acara atau hajatan lainnya di malam satu Suro. Seperti hajatan sunatan, hajatan kelahiran, dan hajatan sejenisnya.

Mengapa larangan malam 1 Suro ini ada? Dalam buku berjudul Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) oleh Wahyana Giri, malam 1 Suro adalah malam yang suci serta bulannya penuh rahmat.

Di malam 1 Suro, beberapa orang Jawa Islam percaya, ini momen yang tepat mendekatkan diri kepada Tuhan bisa dengan cara membersihkan diri serta melawan nafsu manusiawinya.

Sejarah 1 Suro

Sejumlah pusaka di Kabupaten Ponorogo diarak jelang malam 1 Suro, Sabtu (6/7/2024) sore.
Sejumlah pusaka di Kabupaten Ponorogo diarak jelang malam 1 Suro, Sabtu (6/7/2024) sore. (Tribun Jatim Network/Pramita Kusumaningrum)

Tradisi peringatan 1 Suro bermula pada masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam. 

Dalam sistem penanggalan Jawa, bulan Suro dimaknai sebagai bulan yang penuh kesucian dan diyakini memiliki kekuatan spiritual yang tinggi.

 Selama bulan ini, masyarakat Jawa—terutama yang masih memegang nilai-nilai Kejawen—dianjurkan untuk melakukan perenungan diri, serta berdoa agar diberi keselamatan dan keberkahan dalam menyongsong tahun yang baru. 

Karena nilai sakral inilah, muncul sebuah larangan tidak tertulis yang menyatakan bahwa menyelenggarakan pesta atau acara besar pada bulan Suro dianggap kurang tepat.

Larangan ini bukan sekadar mitos. Berdasarkan catatan sejarah, Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja ketiga Mataram Islam yang memerintah pada 1613–1645, adalah tokoh penting di balik lahirnya kalender Jawa yang dipadukan dengan unsur kalender Hijriah. 

Penyatuan kedua sistem kalender ini terjadi pada Jumat Legi, Jumadil Akhir 1555 Saka, bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi.

Sultan Agung ingin menciptakan satu momentum khusus bagi seluruh rakyat—dari berbagai lapisan—untuk menyucikan diri dari hal-hal negatif dan mengevaluasi perjalanan hidup mereka. 

Maka, bulan Suro pun dipilih sebagai waktu yang tepat untuk memperkuat sisi batiniah masyarakat, jauh dari hiruk-pikuk urusan duniawi.

Dari sinilah asal muasal mengapa masyarakat Jawa menghindari pesta meriah di bulan Suro, dan lebih memilih menarik diri untuk introspeksi dan mendekatkan diri secara spiritual.

Hingga kini, nilai-nilai tradisi Suro masih dijaga dan diwariskan, terutama di kota-kota seperti Yogyakarta dan Surakarta (Solo). 

Bahkan, berbagai rangkaian acara bulan Suro tak hanya menjadi bagian dari warisan budaya, tapi juga telah menjadi daya tarik wisata yang kuat di kedua daerah tersebut.

Berita Viral lainnya

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Medium

    Large

    Larger

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved