Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Semarak Jamasan Tombak Pusaka Kiai Upas Tulungagung, Jadi Bagian Festival Budaya Spiritual

Jamasan tombak pusaka kanjeng Kiai Upas, pusaka milik Kabupaten Tulungagung berjalan lebih semarak, Jumat (11/7/2025).

Penulis: David Yohanes | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM/DAVID YOHANES
MEMBERSIHKAN BILAH - Winarto, juru jamas tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas tengah membersihkan bilah tombak pusaka milik Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (11/7/2025). Jamasan tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas adalah tradisi turun temurun, yang tahun ini dikemas dalam rangkaian Festival Budaya Spiritual ke-3 Kementerian Kebudayaan RI. 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, David Yohanes

TRIBUNJATIM.COM, TULUNGAGUNG - Jamasan tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas, pusaka milik Kabupaten Tulungagung berjalan lebih semarak, Jumat (11/7/2025).

Iring-iringan nawa tirta (9 air) untuk mencuci pusaka dimulai dari Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso menuju Pendopo Kanjengan, lokasi penyimpanan pusaka.

Berbeda dengan tradisi sebelumnya, iring-iringan nawa tirta dilakukan dari Jalan Urip Sumoharjo di depan Pendopo Kanjengan.

Selain itu para pembawa nawa tirta juga para perempuan dewasa dengan pakaian layaknya abdi dalem, berbeda dengan biasanya yang menampilkan para putri cantik.

Lokasi jamasan atau pencucian pusaka juga dibuat lebih terbuka, dengan kelambu putih yang mengelilinginya dipasang lebih rendah.

Hal ini memudahkan para wartawan maupun konten kreator mengambil gambar, karena tidak terhalang kain.

Baca juga: Keris Presiden Prabowo hingga Menteri Fadly Zon Dipamerkan di Festival Budaya Spiritual Tulungagung

Namun lokasi jamasan tetap steril dari kaum perempuan, karena Kanjeng Kiai Upas diyakini sosok laki-laki.

Jamasan layaknya mandi atau menyucikan diri atau mandi, sehingga tidak layak dilihat lawan jenis.

Jamasan berlangsung khusyuk dengan lantunan ayat suci alquran.

Tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas dikeluarkan dari ruang penyimpanan pusaka oleh Bupati, Wakil Bupati serta Forkopimda.

“Ini tradisi turun temurun yang sudah kita lakukan bersama. Harapannya masyarakat Tulungagung dikasih keselamatan, kesehatan, tenteram berdampingan, kompak agar visi misi bupati tercapai 5 tahun ke depan,” ujar Bupati Tulungagung, Gatut Sunu Wibowo.

Diakui Gatut Sunu, jamasan tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas tahun ini berbeda karena ada peran dari Kementerian Kebudayaan.

Jamasan ini menjadi rangkaian Festival Budaya Spiritual (FBS) ke-3 di bawah Kementerian Kebudayaan (Kemenkebud)

Baca juga: Inspeksi Kendaraan Dinas Polres Tulungagung, Ada Yamaha RK King Incaran Para Kolektor

Bupati berharap, jamasan pusaka ini ke depan menjadi dampak keberkahan untuk masyarakat Tulungagung.

Sebelumnya ada wacana, tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas ini akan diusulkan menjadi benda cagar budaya.

“Jika itu untuk tujuan yang baik, kami dukung untuk dijadikan benda cagar budaya. Intinya jika untuk kebaikan Kabupaten Tulungagung, saya siap mendukung,”  tegas Bupati.

Staf Khusus Menteri Kebudayaan RI, Basuki Teguh Yuwono, memuji tradisi jamasan tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas.

Menurutnya, Tulungagung masih mempertahankan tradisi jamasan tombak yang punya aspek sejarah yang sangat baik.

Tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas ini salah satu artefak  dalam pemahaman senjata dan pusaka tradisional.

“Ini perlu dilestarikan terus menerus. Sangat menarik, karena melibatkan seluruh lingkungan masyarakat yang ada,” ujarnya.

Tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas tertulis dalam sejarah tutur tentang Adipati Mangir Wanabaya, atau Mangir IV.

Beliau adalah penguasa tanah perdikan sejak era Kerajaan Majapahit, lalu wilayahnya masuk Kerajaan Mataram.

Raja Mataram kala itu, Penembahan Senopati berusaha menaklukkan Mangir.

Namun karena kesaktian tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas, Mangir sulit dikalahkan.

Raja kemudian melakukan tipu muslihat dengan mengirimkan anaknya, Retno Pembayun dengan menyamar sebagai penari tledek.

Mangir yang terpikat lalu menikahi Retno Pembayun.

Seiring perjalanan waktu, Pembayun mengungkap jati dirinya sebagai anak raja.

Ia kemudian mengajak Mangir untuk menghadap ayahandanya yang juga seorang raja Mataram.

Saat hendak sowan mertua inilah Mangir harus meninggalkan tombak Kiai Upas, sebab tradisi ketika menghadap raja, tidak boleh membawa senjata.

Saat tanpa senjata itulah Mangir dibunuh. Namun sepeninggal Mangir, tombaknya menimbulkan pagebluk (wabah penyakit).

Untuk mengatasi pagebluk, tombak dibawa ke Kadipaten Ngrowo yang kelak menjadi Tulungagung.

Tombak pusaka ini sebelumnya dimiliki almarhum Kanjeng Bupati R.M.T Pringgodiningrat, bupati Ngrowo pertama.

Secara turun temurun tombak pusaka dipelihara oleh keluarga Pringgokusuman.

Pada perkembangannya senjata pusaka ini diserahkan ke Pemkab Tulungagung.

Dalam sejarahnya Kiai Upas menjadi pusaka "pengandel" Kabupaten Tulungagung.

Menurut kepercayaan turun temurun, selama keberadaan tombak pusaka ini Belanda tidak bisa memerintah di dalam wilayah kota raja Tulungagung.

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved