Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Sudah Sesuai Aturan, Pegawai BUMN Malah Dipermalukan Dirut dalam Forum: Saya Dianggap Tidak Kompeten

Cerita ini terungkap dalam persidangan kasus dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT JN oleh PT ASDP.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
KOMPAS.com/Syakirun Ni'am
SIDANG - Mantan Vice President (VP) Divisi bidang Hukum PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry, Dewi Adriyani (tengah), saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025). 

TRIBUNJATIM.COM - Persidangan kasus dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP, masih berjalan.

Dalam sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025), Mantan Vice President (VP) Divisi bidang Hukum PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry, Dewi Adriyani, dihadirkan sebagai saksi.

Pada persidangan tersebut, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Dewi menjelaskan perubahan Keputusan Direksi Nomor 35/HK:01/ASDP-2018 tanggal 19 Februari 2018, menjadi Keputusan Direksi Nomor KD.86/HK.02/ASDP-2019 tanggal 6 Maret 2019.

Baca juga: Sudah 3 Kali Minta Perbaikan, Kondisi SDN 5 Ngembalrejo Makin Miris, Masih Banyak Atap yang Bolong

"Saudara tahu ada perubahan Keputusan Direksi (KD) Nomor 35 menjadi Keputusan Direksi Nomor 86?" tanya jaksa KPK.

"Ya, saya tahu. Saya yang melakukan perubahan dimaksud sesuai dengan perintah direksi," jawab Dewi.

Dalam surat dakwaan jaksa disebutkan, perubahan dilakukan untuk mempermudah KSU antara PT ASDP dengan PT JN.

Dewi mengatakan, KD 35 disusun untuk meratifikasi Peraturan Menteri BUMN Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman kerja sama yang harus dimiliki perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pasal 6 Permen ini mengatur adanya standard operating procedure (SOP), termasuk syarat adanya kajian dalam dokumen pemilihan mitra kerja sama perusahaan BUMN.

"Jadi, KD 35 itu disusun bagaimana nanti kerja sama antara BUMN atau sinergi BUMN ataupun BUMN dengan pihak lainnya," kata Dewi.

Jaksa KPK mengatakan, dalam KD 35, PT ASDP disebutkan dengan jelas dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam pemilihan mitra kerja sama PT ASDP.

"Kenapa diubah dari KD 35 menjadi KD 86?" tanya jaksa KPK.

Dewi menuturkan, perubahan inisiasi muncul pada Januari 2019 silam, setelah PT ASDP mengalami banyak kapal tenggelam, karam, dan terbakar sehingga armada berkurang.

Karena kebutuhan bisnis, Direktorat Komersial PT ASDP menyampaikan KD 35 perlu disesuaikan.

Pihak terkait menyebut, banyak bisnis di PT ASDP yang tidak seharusnya dilakukan dengan dilengkapi kajian komprehensif karena mempersulit gerak perusahaan.

Mantan Vice President (VP) Divisi bidang Hukum PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry, Dewi Adriyani (tengah), saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025).
Mantan Vice President (VP) Divisi bidang Hukum PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry, Dewi Adriyani (tengah), saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025). (KOMPAS.com/Syakirun Ni'am)

"Nanti kajiannya belum selesai, peluang bisnisnya sudah hilang," kata Dewi, menirukan pihak tersebut.

Dewi lalu menyusun draf calon pengganti KD 35.

Namun, ia tetap menyatakan agar kerja sama, seperti penyewaan tenant di pelabuhan komersial, harus dilengkapi kajian.

Hal ini dinilai penting untuk mengetahui bagaimana kerja sama akan menguntungkan PT ASDP.

Pihak Direktorat Komersial keberatan, sementara Dewi tetap pada pendiriannya bahwa kerja sama perlu dilengkapi kajian sesuai Permen dan terjadilah silang pendapat.

Pada Februari 2019, Dewi diminta datang ke salah satu ruangan pejabat PT ASDP.

Di sana, sudah ada Direktur Utama, Ira Puspadewi, dan beberapa manajer Direktorat Komersial.

Dewi mengaku dipermalukan oleh Dirut di dalam forum.

"Di dalam forum itu, di dalam rapat itu, Bu Ira menyampaikan tanpa melihat saya, beliau menyampaikan, 'VP Hukum ini kenapa selalu tidak menurut kepada direksi, selalu maunya sendiri, menentang semua keputusan direksi, tidak akur dengan koleganya'. Saya disampaikan seperti itu," ujar Dewi.

"Berdasarkan hal itu, terus terang saya merasa dipermalukan karena ada staf manajer dan sebagainya."

"Saya sering merasa saya dikerdilkan, saya dibodoh-bodohi, saya merasa saya dianggap tidak kompeten di perusahaan itu," tambah dia.

Setelah peristiwa itu, Dewi meminta timnya menandatangani draf sesuai kemauan para atasannya.

Dihubungi Kompas.com, pengacara Ira, Soesilo Aribowo menyebut, keterangan Dewi di persidangan tidak konsisten.

"Saksi Dewi keterangannya tidak konsisten, dia kena sanksi karena menolak perintah Dirut, Ira Puspadewi, waktu itu," kata Soesilo.

Baca juga: Tolak Ajakan Camat Jemput Sang Ibu yang Dititipkan di Griya Lansia Malang, Lukman Ungkap Alasannya

Pada persidangan, jaksa KPK juga membacakan keterangan Komisaris Utama PT ASDP 2015-2020, Lalu Sudarmadi, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang mengungkap alasan Ira mengusulkan KSU dengan PT JN.

Salah satu alasan PT ASDP Indonesia Ferry mengakuisisi PT JN adalah karena anak pemilik perusahaan penyeberangan komersial tersebut, Adjie, meninggal dunia.

Keterangan ini dibenarkan oleh Lalu yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi KSU dan akuisisi PT JN.

"Ini Direktur Utama, Ira Puspadewi, berpendapat bahwa ini terkait dengan KSO (kerjasama usaha dilaporkan sebagai kerja sama operasi), latar belakang kerja sama operasional," kata jaksa KPK membacakan BAP Lalu dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025).

Dalam keterangan tersebut, Adjie disebut memiliki kapal penyeberangan dan galangan yang sudah dibicarakan dengan PT PAL Surabaya.

Namun, alasan kedua Ira menyebut bahwa Adjie ingin menjual PT JN karena anaknya meninggal dunia.

"Keturunan yang diharapkan sebagai penerus usahanya meninggal, berharap dapat dikelola oleh ASDP yang punya sejarah dan reputasi," kata jaksa KPK membacakan BAP Lalu.

"Disampaikan pak dalam rapat tersebut?" lanjut jaksa KPK.

"Ya, itu alasan Mba Ira pertama menyampaikan niatnya itu. Terus saya langsung menolak karena 2016 itu sudah ditolak," jawab Lalu.

Pada persidangan disebutkan, dalam rapat dewan komisaris dan direksi di Labuan Bajo September 2019, Lalu mengingatkan agar KSU PT ASDP dengan PT JN harus berdasar alasan yang objektif.

"Latar belakang KSO tidak boleh subjektif, harus profesional," kata jaksa KPK membacakan risalah rapat tersebut.

"Terus ini ada penyampaian juga, empat tahun lalu Dekom (Dewan Komisaris) pernah tidak menyetujui usulan pembelian atau akuisisi kapal," tambahnya.

Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa tiga mantan direktur PT ASDP melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.

Mereka adalah eks Direktur Utama PT ASDP Ferry, Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono.

Korupsi dilakukan dengan mengakuisisi PT JN, termasuk kapal-kapal perusahaan itu yang sudah rusak dan karam.

"Berdasarkan laporan uji tuntas engineering (due diligence) PT BKI, menyebut terdapat dua unit kapal yang belum siap beroperasi."

"Yaitu KMP Marisa Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku, dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam," ujar jaksa.

Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp1,25 triliun dan memperkaya pemilik PT JN, Adjie, Rp1,25 triliun.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved