Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Polemik Royalti Bikin Kafe Kini Hening Tanpa Musik, LMKN: Kenapa Sih Takut Bayar? Tak Bikin Bangkrut

Para pemilik dan pengunjung kafe meminta agar pemerintah mempertimbangkan ulang soal kebijakan royalti.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
Pexels/Kaboompics
Ilustrasi berita kafe dan restoran berhenti untuk memutar musik komersial efek kasus Mie Gacoan dituntut karena tak membayar royalti musik. 

TRIBUNJATIM.COM - Pemilik kafe dan restoran dibuat khawatir dengan kebijakan pemerintah terkait wajib membayar royalti apabila menyetel lagu di tempat komersial.

Hal itu membuat suasana kafe yang biasanya meriah, kini jadi hening dan sunyi tanpa ada musik yang diputar.

Salah satunya, restoran mi yang berada di Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan.

Baca juga: Kabur Gondol Rp20 M dari Ibu-ibu, Cara Curang Elda Iming-iming Lewat Arisan Bodong Terungkap

Restoran tersebut memilih untuk tidak menyetel musik karena takut dikenakan royalti.

"Udah enggak pernah nyetel (musik) lagi, dari awal udah enggak boleh," tutur salah satu karyawan bernama Gusti (bukan nama sebenarnya) (23) saat diwawancarai Kompas.com di lokasi pada Minggu (3/8/2025).

Gusti mengaku, tak adanya musik di restoran tempatnya bekerja membuat suasana menjadi sepi dan hampa.

Kini, hanya terdengar suara riuh dari dapur di mana berbagai menu dimasak.

Padahal dengan adanya musik, kata Gusti, bukan hanya untuk membuat pembeli senang, melainkan juga bisa meningkatkan suasana hati para pekerja.

Namun, kini Gusti dan teman-temannya harus membiasakan diri dengan kondisi restoran yang sunyi.

"Jadi, benar-benar anyep," sambung Gusti.

Tak hanya membuat suasana restoran menjadi sepi, Gusti menilai, tak adanya musik berpotensi mengurangi minat para pelanggan.

"Masalah royalti itu kan memang ada cuma tergantung yang nyiptain lagu, kalau misalkan kafe atau resto enggak ada lagu itu jadi kurang memikat pelanggan," katanya.

Padahal dulu, di restoran Gusti bekerja selalu diputar lagu-lagu hits masa kini yang disukai kaum muda.

Tak sedikit pula, kata Gusti, pelanggan yang ikut bernyanyi tipis-tipis dengan lagu yang diputar di restoran tersebut, ketika menunggu makanan.

Sedangkan salah satu kafe di Jalan Tebet Barat, Jakarta Selatan, memilih untuk tetap memutar musik, meski bukan lagu-lagu Indonesia.

Sejumlah kafe di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, tak lagi putar musik Indonesia karena takut kena royalti.
Sejumlah kafe di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, tak lagi putar musik Indonesia karena takut kena royalti. (KOMPAS.com/SHINTA DWI AYU)

Kafe tersebut lebih memilih untuk memutar lagu-lagu barat agar tidak tersandung kasus royalti.

"Jadi, udah mengikuti aturan di sini, cuma gantinya pakai lagu-lagu barat," ucap salah satu karyawan bernama Ririn (bukan nama sebenarnya) (28) saat diwawancarai Kompas.com di lokasi, Minggu.

Ririn mengatakan, larangan menyetel lagu Indonesia datang dari pihak manajemen langsung.

Pihak kafe, kata Ririn, tak mau mengambil risiko apabila tetap nekat memutar lagu-lagu penyanyi Indonesia.

Selain lagu barat, kafe di tempat Ririn bekerja juga lebih sering memutar musik-musik instrumen.

Diputarnya musik instrumen memang membuat suasana kafe lebih tenang dari biasanya.

Namun, saat disetel musik instrumental, para pengunjung terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing.

Beberapa ada yang memilih diam, bermain ponsel atau laptopnya, beberapa juga ada yang berdiskusi dengan rekannya.

Tapi, ada pula pengunjung yang mengaku merasa mengantuk karena mendengar musik instrumental tersebut.

"Kaya sekarang nih, diganti di sini sama musik instrumental emang sih jadi lebih tenang."

"Cuma kan bikin ngantuk, vibesnya kayak enggak kaya biasanya," ucap salah satu pengunjung kafe bernama Jeni (29).

Baca juga: Padahal Diduga Korban Penganiyaan, Anak Pemandi Jenazah Ditetapkan Polisi Jadi Tersangka

Para pengunjung kafe meminta agar pemerintah mempertimbangkan ulang soal kebijakan royalti itu.

"Ya, sebagai pemerintah kalau mau buat kebijakan dipertimbangkan lah. Masak putar lagu di kafe aja harus bayar."

"Kan fungsinya lagu buat didengarin, heran kalau apa-apa harus serba bayar dan dipajak," jelas Jeni.

Padahal, kata Jeni, seharusnya pemerintah sadar pemutaran lagu di kafe atau restoran juga bisa memberikan dampak positif.

Sebab, dengan seringnya diputar di kafe dan restoran, lagu dan penyanyinya lebih mudah dikenal dan dihapal banyak orang.

"Toh, kalau kita dengarin dari YouTube channel ori penyanyinya, bisa nambah adsense dia. Kalau dengarin di Spotify kan juga resmi, dia juga dapat uangnya, kenapa harus bayar ke pemerintah," tegas Jeni.

Sedangkan pengunjung kafe lain bernama Aulia (25) juga berharap agar pemerintah menyeleksi penyanyi mana saja yang keberatan lagunya disetel di kafe dan restoran.

"Mending kasih tahu aja mana penyanyi yang enggak berkenan lagunya disetel di kafe, mana yang enggak masalah."

"Biar pihak kafenya boikot penyanyi itu, jangan semua dipukul rata enggak boleh. Aku yakin, pihak kafe bakal otomatis aware soal ini," jelas Aulia.

Aulia juga menyarankan lebih baik pemerintah membuat kebijakan agar pihak kafe atau restoran menyetel lagu dari aplikasi resmi atau berlisensi.

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kemenkum, Agung Damarsasongko mengatakan, aturan tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya.

Pasalnya, langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik.

"Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah," kata Agung dalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025).

Agung mengatakan, pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Hak Cipta Lagu dan/atau musik.

LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait.

Untuk diketahui, tarif royalti musik untuk restoran dan kafe diatur dalam SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu Kategori Restoran.

Berdasarkan aturan tersebut, pelaku usaha wajib membayar Royalti Pencipta sebesar Rp60.000 per kursi per tahun dan Royalti Hak Terkait sebesar Rp60.000 per kursi per tahun.

Baca juga: Sudah Bayar Rp400 Ribu Sewa Ojek, Bidan Dona Akhirnya Berenang Terjang Arus Sungai Bawa Alat Medis

Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, mengingatkan para pelaku usaha restoran dan kafe bahwa memutar lagu luar negeri juga dikenakan kewajiban membayar royalti.

Hal itu, menurut Dharma, merupakan aturan dari Undang-Undang.

Selain itu, LMKN maupun LMK telah menjalin kerja sama dengan mitra internasional terkait pembayaran royalti.

"Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional."

"Kita punya kerja sama dengan luar negeri dan kita juga membayar ke sana," kata Dharma kepada Kompas.com via telepon, Senin (4/7/2025).

Dharma menegaskan, membayar royalti lagu tidak akan membuat usaha menjadi bangkrut.

Apalagi, tarif royalti lagu di Indonesia tergolong sangat rendah dibandingkan dengan negara lain.

Ia menambahkan bahwa LMKN juga mempertimbangkan kondisi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam penetapan tarif.

"Iya, intinya itu. Kenapa sih takut bayar royalti? Bayar royalti tidak akan membuat usaha bangkrut," ujar Dharma.

"Tarif royalti kita paling rendah di dunia. Jadi, bayar royalti itu artinya patuh hukum. Kalau mau berkelit, nanti kena hukum. Itu saja jawabannya," lanjut Dharma.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved