Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Penjelasan BPS Soal Pengeluaran Rp3 Juta per Orang Disebut 'Super Kaya' Menurut Data DTSEN

Dalam data DTSEN, seseorang sudah dikategorikan 'super kaya' jika pengeluaran di atas Rp3 juta per kapita setiap bulan.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
SHUTTERSTOCK/KHOL HIILMY
SUPERKAYA - Ilustrasi berita seseorang sudah dikategorikan 'superkaya' jika pengeluarannya di atas Rp3 juta per kapita setiap bulan. Penetapan batas kekayaan ini versi Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang dikelola oleh BPD. 

TRIBUNJATIM.COM - Belakangan ini, media sosial X heboh dengan penetapan batas kekayaan dalam versi Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang dikelola oleh BPD.

Pasalnya, dalam data tersebut seseorang sudah dikategorikan 'superkaya' jika pengeluarannya di atas Rp3 juta per kapita setiap bulan.

Sontak hal itu menuai polemik netizen.

Baca juga: Raya Meninggal di Usia 3 Tahun Gegara Tubuh Dipenuhi Cacing, Pilu Ayah TBC & Ibu Gangguan Kejiwaan

Diketahui, DTSEN merupakan basis data terpadu yang menggabungkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Regsosek (Registrasi Sosial Ekonomi), serta Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE).

Dalam sistem tersebut, masyarakat dibagi menjadi 10 desil kesejahteraan, mulai dari Desil 1 (paling miskin) hingga Desil 10 (paling kaya).

Hal itu sesuai Keputusan Menteri Sosial Nomor 79/HUK/Tahun 2025, pengeluaran per kapita menjadi patokan utama untuk memetakan tingkat kesejahteraan warga.

Kategori ini membuat banyak netizen kaget sekaligus meragukan akurasinya.

Lantaran dinilai terlalu rendah untuk menggambarkan lapisan masyarakat terkaya di Indonesia.

Sejumlah akun bahkan menyampaikan kritik bernada satire.

"Selama ini berdoa biar bisa jadi orang kaya, ternyata udah 'Super Kaya' walau 50 persen buat bayar kontrakan di gang sempit yang airnya oranye meski udah difilter. Ternyata orang super kaya kalo belanja juga masih pilih-pilih yang murah biar hemat (aku)," ujar akun @bunnybinn.

"Kalau kategori memberi Bansos, satu keluarga dengan pengeluaran Rp3 juta itu jadi super kaya, ya. Terus anggota DPR yang pakai jam, kacamata, dan tas mewah itu, termasuk apa?" tulis akun @soetjenmarching pada 14 Agustus 2025 lalu.

"ternyata selama ini temen2ku super kaya.. Salam hai teman2 Super Kaya!" cuit akun @jetveetlev.

Mengenai kehebohan di media sosial ini, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, buka suara.

Ia menegaskan, DTSEN tidak digunakan untuk mengelompokkan masyarakat berdasar pengeluaran per kapita, tetapi untuk pemeringkatan kesejahteraan dalam desil 1-10.

"DTSEN tidak pernah digunakan untuk mengategorikan masyarakat menurut pengeluaran per kapita per bulan," jelas Amalia, Selasa (19/8/2025), dilansir dari Kompas.com.

Amalia menekankan, BPS tidak pernah memublikasikan besaran pengeluaran berdasarkan desil.

"Jika ada data pengeluaran menurut desil, dapat dipastikan data tersebut bukan bersumber dari BPS," katanya.

DTSEN merupakan basis data penduduk Indonesia.

Per 31 Juli 2025, jumlah penduduk tercatat 286,80 juta jiwa dengan 94,25 juta keluarga.

Data ini, salah satunya, digunakan untuk intervensi program bantuan pemerintah berdasarkan desil.

Amalia menegaskan, penghitungan tingkat kemiskinan bukan dilakukan dengan DTSEN, melainkan berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan setiap Maret dan September.

"Garis kemiskinan dihitung dari Susenas dan perlu dibaca sebagai garis kemiskinan rumah tangga. Orang miskin ditentukan dengan pengeluaran per rumah tangga, bukan per kapita," pungkasnya.

Baca juga: Sepatu Curian Rp9,1 Juta Dijual Rp85 Ribu untuk Bayar Kosan, Kakek Ditangkap

Sebelumnya, BPS merilis daftar provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi pada 2025.

Adapun daftar provinsi dengan tingkat kemiskinan tersebut baik dalam segi jumlah maupun persentase.

Berdasarkan laporan BPS, Jumat (25/7/2025), persentase penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 8,47 persen.

Hal itu diketahui setelah BPS mempublikasikan 'Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2025'.

Jumlah tersebut turun 0,10 persen poin terhadap September 2024 dan turun 0,56 persen poin terhadap Maret 2024.

Sementara itu, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang atau turun 0,20 juta orang terhadap September 2024 dan lebih rendah 1,37 juta orang terhadap Maret 2024.

"Secara umum, pada periode Maret 2014-Maret 2025, tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan tren penurunan, baik dari sisi jumlah maupun persentase, kecuali pada Maret 2015, Maret 2020, September 2020, dan September 2022," tulis BPS dalam laporannya, dikutip dari Kompas.com.

"Tingkat kemiskinan tertinggi selama periode tersebut tercatat pada Maret 2015, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 28,59 juta orang atau 11,22 persen," tambah badan tersebut.

BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia.

Berdasarkan pendekatan tersebut, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.

Untuk diketahui, garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM).

GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari.

Paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditas (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

Sementara itu, GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Paket komoditas kebutuhan dasar bukan makanan diwakili oleh 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan.

Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan.

Berdasarkan perhitungan BPS, berikut sepuluh provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi pada Maret 2025:

Jumlah penduduk miskin berdasarkan provinsi:

  1. Jawa Timur: 3.875.880 orang
  2. Jawa Barat: 3.654.740 orang
  3. Jawa Tengah: 3.366.690 orang
  4. Sumatera Utara: 1.140.250 orang
  5. Nusa Tenggara Timur (NTT): 1.088.780 orang
  6. Sumatera Selatan: 919.600 orang
  7. Lampung: 887.020 orang
  8. Banten: 772.780 orang
  9. Aceh: 704.690 orang
  10. Sulawesi Selatan: 698.130 orang.

Persentase penduduk miskin berdasarkan provinsi:

  1. Papua Pegunungan: 30,03 persen
  2. Papua Tengah: 28,9 persen
  3. Papua Barat: 20,66 persen
  4. Papua Selatan: 19,71 persen
  5. Papua: 19,16 persen
  6. Nusa Tenggara Timur: 18,6 persen
  7. Papua Barat Daya: 17,95 persen
  8. Maluku: 15,38 persen
  9. Gorontalo: 13,24 persen
  10. Aceh: 12,33 persen.

Baca juga: Mbah Sumyati Tetap Salat Isya Meski Dipatok Ular Berbisa, Nyawanya Tak Terselamatkan

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan

Berdasarkan data yang sudah dirilis, BPS menjelaskan bahwa persentase penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua sebesar 18,90 persen.

Sementara itu, persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan sebesar 5,15 persen.

Meski begitu, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa (12,56 juta orang) dari segi jumlah, sedangkan jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan (0,89 juta orang).

BPS menjelaskan, tingkat kemiskinan pada Maret 2025 dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni:

  1. Ekonomi Indonesia Triwulan I-2025 masih tumbuh 4,87 persen (y-on-y)
  2. Pengeluaran konsumsi rumah tangga pada Triwulan 1-2025 mencapai Rp1.741,0 triliun, meningkat 2,21 persen dibanding Triwulan III-2024 dan 4,89 persen dibanding Triwulan I-2024
  3. Nilai Tukar Petani (NTP) pada Februari 2025 sebesar 123,45 yang menunjukkan indeks harga yang diterima oleh petani lebih tinggi dibandingkan indeks harga yang dibayar oleh petani
  4. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2025 turun dibandingkan Agustus 2024. Penurunan lebih cepat pada wilayah perdesaan
  5. Jumlah setengah pengangguran di Perkotaan pada Februari 2025 meningkat 0,46 juta jiwa dibandingkan Agustus 2024
  6. Proporsi pekerja infotmal pada Februari 2025 sebesar 59,40 persen
  7. Perkembangan harga berbagai komoditas pada Februari 2025 dibandingkan Maret 2024 menunjukkan pola yang bervariasi. Beberapa komoditas pangan mengalami kenaikan harga, antara lain minyak goreng, cabai rawit, dan bawang putih. Sementara itu, komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain beras, daging ayam ras, dan bawang merah 
  8. Diskon tarif listrik sebesar 50 persen yang masih berlaku pada Februari 2025 turut memberikan andil terhadap terjadinya deflasi.
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved