Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kisah Lamisih Berhasil Lepas dari Bansos PKH, Kini Sukses Jualan Gula Aren

Kesejahteraan keluarganya seketika meningkat hingga memutuskan untuk mengajukan graduasi mandiri atau keluar dari penerima PKH.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
Dok Lamisih
TAK LAGI TERIMA BANTUAN PKH - Lamisih mewadahi gula aren bikinannya untuk dipasarkan melalui toko-toko. Ia berhasil lepas dari bantuan PKH. 

TRIBUNJATIM.COM - Seorang wanita paruh baya bernama Lamisih (46) memilih melepaskan bantuan negara untuk warga lain yang lebih membutuhkan.

Ia membuktikan bahwa bantuan sosial bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, melainkan jembatan menuju kemandirian.

Lamisih kini berhasil lepas dari bantuan Program Keluarga Harapan (PKH).

Baca juga: Pungut Makanan Sisa Pejabat dari Acara HUT RI, 2 Bocah SD Kini Dapat Hadiah Sepeda

Kisah ini berasal dari sebuah desa yang asri bernama Desa Pakel di Kecamatan Gucialit, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Delapan tahun lalu, Lamisih memulai perjuangan bersama suaminya.

Dari nira pohon aren yang tumbuh subur di kebunnya, mereka berdua mengolahnya menjadi gula aren.

Awalnya, usaha ini berjalan sangat sederhana.

Suami menyadap nira, dan Lamisih mengolahnya di dapur rumah.

Namun, tantangan besar mengadang Lamisih dan suami saat itu.

Tidak banyak yang tahu produknya.

Tempat tinggal di desa yang cukup jauh dari pusat keramaian dan minimnya modal untuk promosi membuat usaha Lamisih dan suami kembang kempis.

Gula aren hasil olahan dapur rumah mereka hanya laku jika ada pembeli yang datang langsung ke rumah.

Titik balik datang pada akhir 2017, seperti dilansir dari Kompas.com.

Lamisih dan keluarganya terdaftar sebagai penerima manfaat PKH.

Melalui pendampingan, Lamisih belajar banyak hal, mulai strategi pemasaran yang efektif, cara mengemas produk agar lebih menarik, hingga menentukan harga jual yang layak.

Gula aren asli kini mulai diminati ibu rumah tangga menjelang puasa Ramadhan, harganya pun sangat terjangkau untuk semua kalangan, Sabtu (18/3/2023).
Gula aren asli kini mulai diminati ibu rumah tangga menjelang puasa Ramadhan, harganya pun sangat terjangkau untuk semua kalangan, Sabtu (18/3/2023). (TRIBUNGAYO/RASIDAN)

"Setelah pendampingan, banyak jalan terbuka. Pemasaran jadi lancar, dan kami lebih percaya diri mengembangkan usaha," kenang Lamisih, Rabu (21/8/2025).

Seiring berjalannya waktu, usaha gula aren Lamisih kian berkembang pesat.

Gula aren produksinya kini punya pasar tetap, dengan harga bervariasi dari Rp10.000 hingga Rp60.000, tergantung ukuran dan bentuk kemasannya.

Kesejahteraan keluarganya seketika meningkat.

Lamisih pun enggan terus menerus menjadi beban negara.

Ia memutuskan untuk mengajukan graduasi mandiri atau keluar dari penerima PKH.

Bukan hanya karena kondisi ekonomi yang membaik, keputusan Lamisih juga didorong niat mulia.

Ia merasa sudah saatnya memberikan kesempatan bagi keluarga lain yang masih lebih membutuhkan bantuan.

"Kalau usaha sudah berkembang dan penghasilan stabil, rasanya sudah saatnya lepas."

"Bantuan itu lebih baik diberikan kepada keluarga yang benar-benar masih kesulitan," tutur Lamisih.

"Bansos itu bukan untuk selamanya. Kalau kita mau usaha, sabar, dan terus belajar, insyaallah bisa mandiri," lanjutnya.

Baca juga: Bripda Farhan Ngaku Amnesia & Tak Tahu Jalan usai Tak Hadiri Akad Nikah, Sukmawati Cek Google Maps

Langkah ini sejalan dengan visi besar Kementerian Sosial yang ingin mendorong keluarga penerima manfaat agar tidak selamanya bergantung pada bantuan, melainkan mampu bangkit dan mandiri.

Keputusan Lamisih mendapat dukungan penuh dari Bambang, pendamping PKH di Desa Pakel.

Baginya, Lamisih adalah contoh ideal dari tujuan utama program PKH yakni menciptakan keluarga yang mandiri.

Bambang berharap, ke depan banyak keluarga penerima manfaat (KPM) PKH yang akan mengikuti jejak Lamisih, jadi keluarga mandiri dan bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain.

"Semoga kemampuan Ibu Lamisih untuk graduasi ini bisa menjadi inspirasi bagi keluarga lain."

"Terutama KPM dari PKH dan BPNT, untuk bangkit dan memperbaiki kondisi ekonomi," ujarnya.

Kisah inspiratif lainnya datang dari Yati (60), penjual semanggi di Jawa Timur.

Ia menjadi segelintir pedagang yang memilih tetap berjualan kuliner legendaris khas Surabaya, Semanggi, di tengah gempuran jajanan siap saji.

Sudah lebih dari 20 tahun dirinya berjualan kuliner semanggi di sudut Kota Surabaya.

"Saya mulai (jualan) pas anak saya usia tiga tahun. Sekarang usianya sudah 25 (tahun). Berarti sudah 22 tahunan," kata Yati saat ditemui di Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya, Senin (23/6/2025).

Dengan usia jualan lebih dari dua dekade, kedatangan para pelanggan setia tampak akrab memesan semanggi buatan Yati.

Tangan Yati cekatan membungkus rebusan daun semanggi, ubi jalar, dan kecambah, di atas pincuk daun pisang.

Ia juga menambahkan bumbu berbahan kacang.

Sekilas tampak seperti bumbu pecel, namun bahan yang dibuat sangat berbeda.

Ada campuran rebusan ubi jalar dan kentang yang dihaluskan dan ditambah sedikit air.

Tambahan kerupuk puli menyempurnakan sajian panganan khas Surabaya tersebut.

Baca juga: Penyebab Kematian Nazwa di Kamboja Terungkap, Ibu Tidak Punya Rp183 Juta untuk Pulangkan Jenazah

Selama sepekan, ibu empat anak ini membagi lokasi jualan.

Saat Sabtu dan Minggu, ia menjajakan olahan semanggi tersebut ke area Car Free Day Taman Bungkul Surabaya.

"Kalau dulu saya keliling kampung, kampung ke kampung. Sembarang tak lakoni (apa saja saya lakukan), punya toko, buruh pabrik, terakhir semanggi," ujarnya.

Setiap Senin, ia dan suami mengambil daun semanggi ke kampung semanggi daerah Benowo.

Lalu mengolahnya dengan cara dijemur sedikit layu, gunanya agar daun semanggi tidak terlalu keras dan berair.

Kemudian merebusnya sesuai kebutuhan harian.

SEMANGGI SUROBOYO - Yati tengah menyiapkan sebungkus Semanggi, kuliner khas Surabaya, Senin (23/6/2025). Makanan ini merupakan olahan daun semanggi yang direbus kemudian disandingkan dengan bumbu kacang dengan campuran rebusan ubi jalar dan kentang yang dihaluskan dan ditambah sedikit air.
Yati tengah menyiapkan sebungkus semanggi, kuliner khas Surabaya, Senin (23/6/2025). Makanan ini merupakan olahan daun semanggi yang direbus kemudian disandingkan dengan bumbu kacang dengan campuran rebusan ubi jalar dan kentang yang dihaluskan dan ditambah sedikit air. (TribunJatim.com/Nurika Anisa)

Pilihannya jualan kuliner semanggi atas dasar nasihat sang ibu.

Perempuan yang saat ini telah memiliki 10 cucu tersebut merasa saran dari sang mertua tersebut adalah jalan keluar dari permasalahan ekonomi yang sebelumnya kerap dihadapi.

Berangkat dari Tandes turun ke Wonokromo, menggendong wakul keranjang menggunakan selendang lalu keliling kampung.

Hingga akhirnya ia menemukan tempat berjualan.

"Dodolan semanggi ae, soro nak, tapi anak bojomu mangan, sangu sekolah anak wes cukup. Nurut omongan e wong tuo. (Berjualan semanggi saja, susah, tapi anak suami makan, uang saku anak sekolah sudah cukup. Nurut sama nasihat orang tua). Kata ibu saya dulu begitu," ujarnya.

Usaha semanggi disebut mencukupi kebutuhan keluarganya.

Satu porsi semanggi dijual Rp10 ribu.

Setiap hari, ia menghasilkan Rp 500 ribu dari berjualan semanggi.

Sementara Sabtu dan Minggu, Yati mengaku mengantongi Rp1,5 juta.

Ia berharap usaha yang digeluti keluarganya ini dapat diteruskan oleh keluarganya.

"Sudah dari ibu saya, mertua kakak saya, kakak saya juga bergantian jualan."

"Paling nanti diteruskan menantu yang belum kerja, soalnya anak saya kerja," tuturnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved