Ia mengungkapkan keluarga Tri Murtiono mengontrak di sebuah rumah di Jalan Tambak Medokan Ayu Gang VI.
Rumah itu dikontrak seharga Rp 32 juta untuk jangka waktu 2 tahun penempatan.
Ia mendapatkan rumah kontrakan itu melalui situs jual beli online.
Tapi, ternyata Tri Murtiono belum membayar semua harga rumah kontraknya.
"Ngontrak dua tahun seharga Rp 32 juta, tapi baru dibayar sekitar Rp 16 sampai Rp 20 juta," tutur Hamid.
"Lewat jual beli online (nemu rumahnya), ketemu sekali sama pemilik rumahnya," sambungnya.
Dalam kesehariannya keluarga Tri Murtiono dikenal cukup tertutup dengan para tetangganya.
Dikatakan Suwito selaku Ketua RT 08 RW 02, mereka baru 4 bulan tinggal di Medokan Ayu.
Sehari-harinya Tri Murtiono diketahui sebagai pengusaha teralis besi.
"Orangnya biasa aja, kesehariannya interaksi juga kurang, jadi tertutup," kata Suwito.
Dalam kesehariannya yang tertutup, Tri Murtiono sempat sesekali terlihat di kegiatan warga seperti penjagaan siskamling.
Saat ditanya perihal aktifitas di rumahnya, Suwito mengatakan tidak pernah melihat ada pengajian ataupun perkumpulan orang di rumah berwarna orange tersebut.
"Tidak pernah mengundang orang, di samping itu ada musala dan gak pernah terlihat," ujarnya.
Selama ini, warga sekitar tidak menaruh curiga lantaran menurut mereka aktifitas mereka biasa saja.
"Setahu saya mereka justru keluar. Setelah maghrib keluar dan ga tau pulangnya kapan," pungkas Suwito.
Alasan teroris gunakan anak-anak diungkap Kak Seto
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Seto Mulyadi yang ramah di sapa kak Seto cukup prihatin dengan aksi teror yang terjadi di Surabaya.
Sebagaimana bidangnya, kak Seto fokus prihatin kepada aksi teror yang melibatkan kalangan anak-anak yang menurutnya terjadi pertama kali di Indonesia.
Sebagai contoh, aksi pengeboman di tiga gereja yang ikut menyeret empat anak korban untuk ikut aksi bom bunuh diri.
Aksi pengeboman Polrestabes Surabaya yang ikut serta tiga anak dan satu diantaranya selamat dan di rawat di RS Bhayangkara.
Belum lagi, empat anak di Rusun Wonocolo, satu meninggal dan tiga dalam pendampingan.
"Ini yang pertama di Indonesia karena anak ikut di libatkan dan anak dapat suntikan stimulasi negatif dari keluarganya melakukan teror," kata Kak Seto di Media Center Polda Jatim. (16/05/2018)
Kak Seto juga menambahkan bahwa pelaku teror yang juga orang tua anak sangat paham bahwa anak-anak sangat mudah di pengaruhi.
Dengan suntikan negatif, pria yang khas dengan rambut klimisnya ini menyakini maka anak-anak bisa ikut terbawa negatif.
"Dalam hal ini, orang tua mereka sangat paham bahwa anak-anak mudah di stimulasi. Dengan stimulasi negatif, anak ikut negatif. Bila stimulasi positif tentu akan positif," jelasnya.
Sebagai solusinya, Kak Seto berharap ada peran aktif negara untuk merawat dan mendampingi anak dari pelaku.
"Saya berharap ada peran negara untuk melakukan pendampingan pada anak sehingga berada di lingkungan yang kondusif karena anak bukan pelaku tetapi jadi korban orang tua," tuturnya.