TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Penerapan sistem zonasi PPDB menuai polemik di sejumlah daerah.
Tidak terkecuali di sejumlah daerah di Jawa Timur.
Satu di antaranya di Surabaya Jawa Timur.
Seperti diketahui, sistem zonasi dalam PPDB 2019 diatur dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018.
Permendikbud tersebut mengatur agar PPDB yang dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota untuk pendidikan dasar, maupun pemerintah provinsi untuk pendidikan menengah, wajib menggunakan tiga jalur, yakni jalur zonasi (paling sedikit 90 persen), jalur prestasi (paling banyak lima persen), dan jalur perpindahan orang tua/wali (paling banyak lima persen).
“Sebenarnya tujuan penerapan zonasi ini bagus. Mengapa? Karena untuk pemerataan pendidikan di Indonesia. Agar tidak ada kesenjangan hak memperoleh pendidikan,” ungkap Rasiyo, koordinator Forum Pemerhati Pendidikan (FPP) Jatim, Selasa (25/6/2019).
Namun, tambahnya, penerapan zonasi dalam PPDB tersebut tidak serentak dan serta merta seperti sekarang ini.
Pemerintah harusnya memperhatikan topografi Indonesia.
Juga, ketersediaan sarana dan prasarana di daerah.
Kalau semua daerah di Indonesia disamaratakan, akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dan adapula yang diuntungkan.
“Imbasnya bagi mereka yang merasa dirugikan pasti akan protes, ya akhirnya demo seperti di Grahadi kemarin,” ungkap pria yang pernah menjabat Kepala Dinas Pendidikan Jatim era Gubernur Imam Utomo ini.
Rasiyo mengurai polemiK PPDB ini sebenarnya bisa dicegah jika sejak awal Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim memberikan masukan pada pemerintah pusat.
Dindik Jatim sebagai pemegang wilayah mengetahui secara detail sarana dan prasarana dalam pelaksanaan PPDB dengan sistem zonasi.
Di antaranya persebaran dan jumlah sekolah negeri dan swasta yang ada di daerah.
Persebaran sekolah yang dikatakan Rasiyo seperti persebaran Sekolah Dasar (SD) di era Orde Baru dimana di setiap desa harus ada minimal satu SD Negeri.