Laporan Wartawan TribunJatim.com, Sofyan Arif Candra Sakti
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Timur tidak setuju dengan rencana Kementerian Ketenagakerjaan yang mewajibkan pemerintah daerah untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) naik 8,51 persen pada 2020.
Ketua FSPMI Jawa Timur, Pujianto mengungkapkan ada dua faktor yang menyebabkan para buruh menentang rencana tersebut.
Faktor yang pertama adalah cara penetapan besaran peningkatan UMP yang bertentangan dengan sejumlah peraturan.
• UMP Jawa Timur 2020 Ditetapkan Rp 1,76 Juta, Disnakertrans: Sekarang Proses Administrasi ke Gubernur
"Dari awal kami menolak cara penetapan pemerintah menggunakan PP 78 (PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan). Itu sudah pelanggar tentang pengupahan karena tidak melalui survei dan langsung menetapkan berapa persen, itu cara komunis," ucap Pujianto, Jumat (25/10/2019).
Pujianto menjelaskan, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan bahwa penentuan upah tersebut harus melewati survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
"Sampai saat ini survei tersebut tidak pernah dilakukan oleh pemerintah dan langsung penetapan. Ada mekanisme upah yang dilewati," lanjutnya.
• UMP Jawa Timur 2020 Naik Jadi Rp 1,76 Juta, Besaran UMK Masih Tunggu Putusan Pemda Terkait
Alasan lainnya, penetapan UMP tersebut menurut Pujianto tidak menghargai UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja serikat buruh.
"Salah satu fungsi serikat pekerja adalah berunding, dan selama ini tidak ada perundingan," kata Pujianto.
Terlepas dari cara penetapan, besaran kenaikan UMP 8,51 persen dinilai FSPMI Jawa Timur juga terlalu kecil dan tidak layak.
"Kita sudah melakukan survei KHL dari semua cabang di kabupaten/kota, seharusnya kenaikan UMP ini 15 persen. Sedangkan pemerintah ini tidak mau survei tapi menetapkan besarannya sekian (8,51 persen)," ucapnya.
• UMK 2020 Naik 8,51 Persen, Lima Daerah Kawasan Ring 1 di Jatim Bakal Kisaran Rp 4 Juta Lebih