Pilkada Serentak 2020

KPK Blak-blakan OTT Kepala Daerah Marak di Masa Pilkada, Singgung Modal Rp 20 M: Tak Selaras

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK dalam diskusi daring bersama Bawaslu Jatim, Rabu (8/7/2020).

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - KPK kerap melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap kepala daerah jelang Pilkada.

Dalam Diskusi Publik bertajuk "Kaum Miskin Kota dalam Pusaran Politik Uang" yang diikuti sejumlah Bawaslu kabupaten/kota, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) blak-blakan mengungkap alasannya.

Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK dalam diskusi daring bersama Bawaslu Jatim itu, Rabu (8/7/2020), menyinggung modal Pilkada. 

KPK menyebut modal yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri di Pilkada cukup besar.

BREAKING NEWS - INNALILLAHI, Saksi Kunci Kasus Dugaan Korupsi Bupati Sidoarjo Nonaktif Meninggal

Perlakuan Ibunda Reino Barack ke Syahrini saat Makan Bareng Tak Sengaja Terekam, Dimanja Mertua?

Bahkan, minimal dana yang disiapkan mencapai Rp 20 miliar.

"Minimal untuk cost politics mencapai Rp20 miliar ke atas. Itu untuk mahar dan cost politics selama kampanye," kata Ghufron dalam diskusi tersebut.

Komisioner Bawaslu RI, M Afifuddin bersama Komisioner Komnas HAM, Bekasi Ulung Hapsara juga menjadi pembicara.

KPU dan Bawaslu Pastikan 19 Daerah Jatim Siap Pilkada 2020, Anggaran Protokol Covid-19 Rp 600 M Siap

Kronologi Kasus Corona di Bank BRI Kota Malang, Berawal dari PDP hingga 7 Orang Positif Covid-19

Besarnya modal yang dibutuhkan tersebut ternyata tak selaras dengan gaji yang didapat kepala daerah ketika terpilih.

Dalam hitungan KPK, selama kurun waktu menjabat satu periode (lima tahun) pendapatan murni yang didapat seorang kepala daerah ada di sekitar lima miliar rupiah.

"Lantas bagaimana agar bisa BEP (Break Event PointPoint/balik modal) dalam waktu lima tahun? Padahal, biasanya seorang kepala daerah menargetkan waktu balik modal di dua tahun pertama menjabat," kata Ghofur.

Hemaviton Donasikan Produk Vitamin C ke Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya

"Kenapa dua tahun? Sebab, untuk tiga tahun berikutnya, seorang petahana sudah harus memikirkan modal untuk pencalonan berikutnya," terangnya.

Hal yang demikian membuat Kepala daerah membuat berbagai startegi.

"Bahkan, beberapa penempatan kepala dinas hingga mutasi jabatan tertentu pasti untuk urusan mengembalikan modal. Bukan lagi kepentingan rakyat," katanya.

Strategi yang "tak lazim" membuat para kepala daerah seringkali tertangkap oleh KPK, bahkan beberapa di antaranya melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT).

"Kalau sudah begini, menangkap itu tak lagi membanggakan bagi KPK. Seperti menangkap nyamuk di kandang nyamuk," katanya.

"Tak heran, kalau OTT KPK terhadap kepala daerah marak dilakukan ketika jelang Pilkada. Di antaranya terjadi pada (Pilkada serentak) 2018 lalu," kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember (UNEJ) ini.

Masalah sistemik tersebut, menurutnya, akarnya pada proses Pilkada yang membutuhkan biaya tinggi. Sehingga, butuh kerja bersama untuk membenahi proses pemilihan pemimpin lima tahunan tersebut.

Ada tiga subyek yang menjadi tolok ukur keberhasilan Pilkada. Yakni, kandidat yang bertanggung jawab, penyelenggara berintegritas, dan para pemilih berkualitas.

Para calon harus bisa menjual program bukan sekadar membeli suara. Para penyelenggara harus bisa menjaga kepercayaan dan pemilih diharapkan tak menunggu politik uang.

"Kami pernah mendengar istilah pilkada adalah ajang "membeli" APBD sehingga mereka berani keluar banyak modal. Ketika terpilih, para Kepala daerah lantas menggunakan APBD sesuai kepentingan mereka," katanya.

"Kami berharap tak ada yang demikian. Sehingga, antara KPU, Bawaslu, dan penyelenggara pemilu lainnya harus sevisi dengan KPK. Pilkada yang jujur dan adil, maka akan menimbulkan kepala daerah yang adil. Maka KPK tak perlu kerja," katanya.

Penulis: Bobby Constantine Koloway

Editor: Heftys Suud

Berita Terkini