"Aku lihat ada badannya tinggi, warna putih, sering lihat juga yang lewat di dekat pohon bambu," tutur Septi.
Tinggal di rumah yang berada di tengah-tengah hutan, membuat Septi akrab dengan lingkungan sekitarnya.
Ia pun sering menghabiskan waktu untuk bermain di sungai yang berada di tengah perjalanan menuju ke rumahnya.
Baca juga: Ternyata Bocah SD yang Pindah SLB Tak Dibully, Firman Tak Naik Kelas hingga IQ Rendah, Kini Membaik
"Jembatannya sudah mau rusak, aku takut, tapi ya aku pilih hati-hati saja," kata Septi dengan riang.
Meski hanya tinggal bertiga saja dengan ayah dan ibunya, namun Septi mengaku nyaman.
"Tinggal di hutan seneng, aku bisa jaga hewanku. Anjing, kucing, ayam," katanya bercerita.
Sepulang sekolah, Septi biasanya makan masakan ibunya.
Masakan kesukaan Septi pun sangat sederhana, yakni nasi dan tempe bacem.
"Karena di gunung, sulit kan untuk cari lauk, jadi dia makan sama tempe, kadang kecap," kata Sumiati.
Meski makan dengan lauk seadanya, Septi pun tetap ceria.
Apalagi ia sesekali bercanda dengan hewan peliharaannya yang berkeliaran di dapur.
"Kalau makan sering digangguin sama ayam dan kucing," kata Septi sambil melahap nasi dan tempe bacemnya.
Di tengah kondisi rumahnya yang sederhana terbuat dari kayu dan lantai masih tanah, Septi dan orang tuanya betah tinggal di Kampung Mati.
Sumiati pun mengaku harus berjalan jauh untuk membeli kebutuhan sayur di pasar.
"Ke pasar dua minggu sekali, jalan kaki jauh. Sekitar satu kilometer lebih," katanya.
Meski jarak rumahnya ke sekolah jauh, namun Septi tetap semangat mengejar cita-cita.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com