TRIBUNJATIM.COM - Orangtua Septi dalam memenuhi kebutuhan sekolah dan uang jajan anaknya penuh perjuangan.
Bahkan harus berkelahi dengan biawak dan ular demi bisa memberi anaknya uang jajan.
Septi dan orangtuanya yakni Sumiran dan Sugiyati menjadi penghuni terakhir Kampung Mati di Yogyakarta.
Kampung Mati terletak di Pedukuhan Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumiran dan Sugiyati memiliki dua anak, Agus Harwanto (24) dan Dewi Septiani (12).
Tinggal di lereng bukit Watu Welah, membuat Septi harus berjalan kaki jauh untuk sampai ke sekolahnya di SD Kutogiri, Pedukuhan Parakan.
Baca juga: Sosok Siswi SD di Yogyakarta yang Hidup Sendirian di Hutan Angker, Jalan Kaki 3 Km ke Sekolah
Akses dari kampung mati terbilang terjal, tak bisa dilintasi kendaraan.
Maka mereka harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki sekitar 2 kilometer.
Jalan melintasi bukit hutan bambu, kebun kayu dan jembatan anyaman bambu untuk menyeberang sungai.
Butuh satu jam jalan kaki ke pinggir jalan dusun.
Dari sana barulah melanjutkan perjalanan menggunakan motor.
Meski menjadi penghuni terakhir kampung mati, keluarga Sumiran tetap harus meneruskan hidup.
Mereka bertahan hidup dengan bahan sederhana seperti kayu bakar, daun singkong atau pepaya yang dibuat oseng-oseng untuk dimakan.
Ada pula kelapa, pisang dan beragam buah lain yang didapat dari hutan di sekitar.
Untuk air tak perlu ditanya, ada berlimpah di sana.