TRIBUNJATIM.COM - Munculnya produk wine bermerek Nabidz yang punya label halal membuat kehebohan di media sosial.
Pasalnya wine yang dikenal sebagai minuman beralkohol mendapatkan sertifikat halal dinilai janggal oleh netizen.
Menanggapi kehebohan ini, MUI dan Kemenag angkat bicara tentang wine berlabel halal tersebut.
Benarkah label halal tersebut telah disalahgunakan?
Baca juga: Gegara Jovi Adhiguna Makan Bakso Campur Sama Kerupuk Babi, Pihak Resto Langsung Hancurkan Alat Makan
Sebelumnya produk wine berlabel halal tersebut viral di media sosial setelah diunggah akun Twitter ini pada Selasa (25/7/2023) pagi.
Tampak dalam unggahan, sebuah tangkapan layar yang mengatakan bahwa produk minuman fermentasi anggur tersebut telah dibuat sedemikian rupa.
Sehingga wine tersebut telah tersertifikasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Namun pengunggah menuliskan, MUI tidak pernah memberikan fatwa halal untuk produk yang berhubungan dengan wine maupun khamar.
"Yang mengeluarkan fatwa halal adalah Komite Halal dibawah Kementrian Agama dengan jalur Halal Self Declare (tanpa audit)," tulis pengunggah.
Hingga Kamis (27/7/2023) siang, unggahan wine tersebut telah menuai lebih dari 863.000 views, 4.400 suka, dan 2.300 retweets dari netizen.
Lantas benarkah ada produk wine yang telah tersertifikasi halal?
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam menegaskan, penerbitan sertifikat halal produk wine merek Nabidz seperti dalam unggahan tersebut tidak melibatkan pihak MUI.
Menurut Asrorun Niam, produk minuman fermentasi anggur dengan kandungan alkohol tersebut tidak sesuai standar fatwa halal MUI.
"Karenanya MUI tidak bertanggung jawab atas sertifikat halal tersebut," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (27/7/2023).
Di sisi lain, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama (BPJPH Kemenag), Muhammad Aqil Irham menjelaskan, pihaknya tidak pernah mengeluarkan sertifikat halal untuk wine.
Dia mengatakan, berdasarkan data pada sistem Sihalal, produk minuman dengan merek Nabidz memang telah dapat sertifikat halal dari BPJPH Kemenag.
"Namun produk tersebut bukanlah wine atau red-wine, melainkan produk minuman jus buah," ujarnya secara terpisah, Kamis.
Rupanya pengajuan sertifikat halal memang benar untuk produk jus buah.
Baca juga: Lina Mukherjee Girang Tak Dipenjara, Ngaku Makan Babi Bukan untuk Viral, Nikita Mirzani: Bukan Haram
Lanjut Aqil, produk jus buah merek Nabidz telah diajukan sertifikasi halal pada 25 Mei 2023,
Pengajuan sertifikasi halal ini melalui mekanisme self declare dengan pendampingan Proses Produk Halal (PPH).
Pengajuan tersebut juga telah diverifikasi dan divalidasi pada tanggal yang sama, dengan produk berupa jus atau sari buah anggur.
Selain itu, menurut Aqil, pendamping PPH pun telah memastikan bahan-bahan yang digunakan adalah halal, dengan kemasan akhir produk berupa botol plastik.
Pelaku usaha juga menyatakan bahwa tidak ada proses fermentasi dalam produksi minuman tersebut.
"Berdasarkan hasil verval Pendamping PPH tersebut, maka tidak ditemukan pelanggaran atau ketidaksesuaian dengan ketentuan. Selanjutnya Komite Fatwa menetapkan kehalalan produk tersebut pada 12 Juni 2023," terang Aqil.
Kendati demikian, seiring waktu, BPJPH mendapatkan pengaduan bahwa sertifikat halal yang diterbitkan digunakan untuk produk lain.
Aqil menegaskan, BPJPH tidak membenarkan hal tersebut dan langsung menurunkan tim Pengawasan Jaminan Produk Halal untuk mendalami fakta di lapangan.
"Jika memang ada pelanggaran, tentu kita akan dengan tegas memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk pencabutan sertifikasi halal," kata dia.
Adapun saat ini, Aqil melanjutkan, BPJPH telah memblokir sertifikat halal bernomor ID131110003706120523 untuk produk jus buah anggur Nabidz.
"Ini kami lakukan sampai dengan proses investigasi tim pengawasan selesai."
"Ini bagian tanggung jawab BPJPH dalam melaksanakan tugas jaminan produk halal," tandasnya.
Baca juga: Syarat dan Cara Daftar Sertifikat Halal Gratis 2023 secara Online, Kuota Tersedia 1 Juta
Sementara dilansir dari bi.go.id, sertifikasi halal di Indonesia tidak lahir tiba-tiba.
Perjalanan sejarahnya dimulai dari labelisasi produk non-halal oleh Departemen Kesehatan pada 1976.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 280 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi.
Surat Keputusan yang ditandatangani Menteri Kesehatan saat itu, Prof Dr GA Siwabessy, mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan 'mengandung babi'.
Selain itu juga diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih.
Kewenangan sertifikasi produk halal kemudian dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Dilansir dari halalmui.org, LPPOM MUI didirikan pada 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal.
LPPOM MUI dibentuk setelah kasus lemak babi di Indonesia yang meresahkan masyarakat pada 1988.
Pemerintah/negara meminta MUI berperan aktif dalam meredakan kasus tersebut, dan berdirilah LPPOM.
Untuk memperkuat posisi LPPOM MUI dalam menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada 1996 ditandatangani nota kesepakatan kerja sama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan, dan MUI.
Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001.
Hal itu menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal.
Kewenangan sertifikasi produk halal yang sebelumnya dilakukan LPPOM MUI, kemudian diambil alih oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag.
Dilansir dari kemenag.go.id, sejak 17 Oktober 2019, penyelenggaraan sertifikasi halal di Indonesia menjadi kewenangan BPJPH.
Hal itu sejalan dengan amanat Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Sehingga, sejak 17 Oktober 2019, perusahaan dari dalam negeri maupun luar negeri yang akan mengajukan pendaftaran perdana atau perpanjangan sertifikasi halal ke Indonesia harus melalui BPJPH.
Sementara itu, perusahaan, baik dalam maupun luar negeri, yang mengajukan sertifikasi halal ke MUI sebelum 17 Oktober 2019, masih dibenarkan sesuai regulasi.
Namun jika masa berlaku sertifikat halalnya akan berakhir atau sudah kadaluarsa, maka proses perpanjangannya wajib melalui BPJPH.