Dipaparkan oleh Prof Prastiya bahwa, midazolam intramuscular mampu menghentikan kejang dalam tempo 45 detik sedangkan midazolam intranasal mampu menghentikan kejang dalam tempo 42 detik dibandingkan dengan diazepam rektal yang mencapai 180 detik.
“Efekstifitasnya lebih cepat. Pokoknya anak kejang hentikan segera, jangan terlalu lama karena kejang dalam lima menit kalau tidak berhenti tendensi kejang lebih lama itu bisa,” ungkapnya.
Obat-obatan tersebut telah banyak tersedia sehingga secara praktis bisa digunakan dengan optimal. Namun tetap dengan resep dokter dan sesuai dosis yang dianjurkan oleh dokter.
Ia mengatakan bahwa penelitiannya tentang efikasi topiramate sebagai monoterapi pasien epilepsi anak memberikan hasil reduksi frekuensi kejang yang signifikan.
"Penelitian kami juga menunjukkan bahwa pemberian midazolam intamuskular dan intranasal lebih efektif dibandingkan dengan diazepam rektal dalam menghentikan kejang," katanya.
Mengobati epilepsi memiliki beberapa tantangan. Selain berurusan dengan perangkat diagnostik yang sulit, terkadang harus berhadapan dengan epilepsi resisten obat yakni epilepsi yang kejangnya tidak berespon terhadap dua obat anti kejang.
“Penelitian kasus epilepsi anak yang kami tangani, terdapat 54 persen pasien dinyatakan mengalami epilepsi resisten obat,” ungkapnya.
Disebutnya, alternatif pengobatan epilepsi resisten obat adalah bedah epilepsi. Namun, tidak semua pusat fasilitas kesehatan mempunyai kemampuan untuk tindakan bedah epilepsi.
“Penentuan tindakan bedah epilepsi harus melalui diskusi multi disiplin. Teknik hemisferektomi adalah prosedur yang paling sering dikerjakan untuk kasus epilepi yang sulit,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyebut epilepsi center sangat diperlukan untuk melakukan diagnostik dan tatalaksana epilepsi yang komprehensif berbasis multidisiplin.
“Kunci untuk memulai epilepsi center ini adalah “assemble the right team with the right people” yang mempunyai pendekatan yang sama untuk menangani epilepsi,” ungkapnya.