TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Guru Besar Unair Prof. Dr. Prastiya Indra Gunawan, dr., SpA(K) mengembangkan penangan epilepsi atau kejang. Kejang merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan.
Disebutkan bahwa, di Indonesia sampai saat ini belum ada data insidens yang pasti karena banyak penderita epilepsi tidak mengunjungi pusat kesehatan.
Penyakit ini juga disebut masih sering membingungkan para dokter karena adanya variasi diagnosis. Diperkirakan angka kesalahan diagnosis epilepsi cukup tinggi yaitu diperkirakan berkisar 4,6 persen hingga 30 persen.
Prof Prastiya mengungkapkan, salah satu tantangan dalam tata laksana epilepsi adalah keterbatasan alat diagnostik. Begitu banyak kelainan yang menyerupai kejang yang memungkinkan terjadi misdiagnosis.
“Sekarang ini kejang banyak ditangani di IGD karena kejang kondisi mengancam jiwa. Kalau anak kejang menimbulkan kepanikan, yang bermanifestasi kejang banyak. Kejang demam dan epilepsi yang lebih rumit penanganannya tetapi yang penting diagnostik EEG dulu harus dibuktikan kejang apa bukan,” ungkap Prof. Dr. Prastiya Indra Gunawan, dr., SpA(K) ditemui Tribun Jatim, belum lama ini.
Baca juga: Perluas Jangkauan, Pusat Halal UNAIR Bagikan 1974 Sertifikat Halal Gratis untuk UMKM
Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) pada saat terjadi serangan terkadang dapat membantu menentukan apakah serangan merupakan kejang epileptik atau bukan.
Tetapi, layanan EEG ditemukan tersedia hanya di tiga perempat negara sumber daya terbatas. Namun sebagian besar dikelola oleh personel yang tidak memiliki pelatihan formal melakukan rekaman EEG.
"Akibatnya, hasil EEG sering disalahartikan sehingga menyebabkan diagnosis yang berlebihan tentang epilepsi dan obat antiepilepsi berkepanjangan yang sebenarnya tidak perlu," ucapnya.
Untuk mengatasi masalah itu, ia mengatakan bahwa International League Against Epilepsy (ILAE) telah berusaha untuk menyetarakan kemampuan pembaca EEG melalui program sertifikasi internasional.
Sehingga diharapkan pembacaan EEG dari negara dengan sumber daya terbatas sudah setara secara internasional.
Tantangan lain dalam epilepsi disebutnya, adalah terbatasnya pilihan obat antiepilepsi yang tersedia. Penanganan kejang adalah pemberian diazepam via rektal tetapi terkadang terdapat kendala.
Prof Prastiya menyebut, dalam menghadapi kejang adalah pemberian diazepam via rektal (lubang akhir untuk mengeluarkan feses) tetapi mempunyai kendala untuk menggunakannya. Misalnya, saat pasien mengalami diare.
“Kalau anaknya diare kan obat tidak bisa masuk. Kita berpikir bagaimana menghentikan kejang itu tanpa harus menghentikan kejang lewat dubur, nah ternyata ada obat yang bisa disuntikan ke otot langsung atau diteteskan lewat hidung. Masih banyak rute menghentikan kejang,” ungkapnya.
Terobosan inovasi yang dilakukan oleh Prof Prastiya, dengan melakukan penelitian klinis penggunaan midazolam intravena yang diberikan secara injeksi ke dalam otot tubuh (intramuscular) ataupun pemberian obat melalui hidung (intranasal).
“Hasilnya cukup menjanjikan, bahwa midazolam intramuscular atau intranasal lebih efektif dibandingkan dengan diazepam rektal,” ungkapnya.
Dipaparkan oleh Prof Prastiya bahwa, midazolam intramuscular mampu menghentikan kejang dalam tempo 45 detik sedangkan midazolam intranasal mampu menghentikan kejang dalam tempo 42 detik dibandingkan dengan diazepam rektal yang mencapai 180 detik.
“Efekstifitasnya lebih cepat. Pokoknya anak kejang hentikan segera, jangan terlalu lama karena kejang dalam lima menit kalau tidak berhenti tendensi kejang lebih lama itu bisa,” ungkapnya.
Obat-obatan tersebut telah banyak tersedia sehingga secara praktis bisa digunakan dengan optimal. Namun tetap dengan resep dokter dan sesuai dosis yang dianjurkan oleh dokter.
Ia mengatakan bahwa penelitiannya tentang efikasi topiramate sebagai monoterapi pasien epilepsi anak memberikan hasil reduksi frekuensi kejang yang signifikan.
"Penelitian kami juga menunjukkan bahwa pemberian midazolam intamuskular dan intranasal lebih efektif dibandingkan dengan diazepam rektal dalam menghentikan kejang," katanya.
Mengobati epilepsi memiliki beberapa tantangan. Selain berurusan dengan perangkat diagnostik yang sulit, terkadang harus berhadapan dengan epilepsi resisten obat yakni epilepsi yang kejangnya tidak berespon terhadap dua obat anti kejang.
“Penelitian kasus epilepsi anak yang kami tangani, terdapat 54 persen pasien dinyatakan mengalami epilepsi resisten obat,” ungkapnya.
Disebutnya, alternatif pengobatan epilepsi resisten obat adalah bedah epilepsi. Namun, tidak semua pusat fasilitas kesehatan mempunyai kemampuan untuk tindakan bedah epilepsi.
“Penentuan tindakan bedah epilepsi harus melalui diskusi multi disiplin. Teknik hemisferektomi adalah prosedur yang paling sering dikerjakan untuk kasus epilepi yang sulit,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyebut epilepsi center sangat diperlukan untuk melakukan diagnostik dan tatalaksana epilepsi yang komprehensif berbasis multidisiplin.
“Kunci untuk memulai epilepsi center ini adalah “assemble the right team with the right people” yang mempunyai pendekatan yang sama untuk menangani epilepsi,” ungkapnya.