Hal yang ia beserta guru-guru lainnya dapat lakukan, yakni terus memberikan pendampingan ekstra kepada peserta didik yang tidak bisa membaca, di luar jam belajar reguler.
"Saya sempat mengajar anak-anak ini, tapi mereka sulit sekali. Bahkan ada yang menyerah di kelas IX, lalu keluar, putus sekolah," lanjut dia.
Guru lain bernama Trifosa S A Nesimnasi (46) juga mengungkapkan hal senada.
Wanita yang sudah 16 tahun menjadi guru IPA di SMPN Oemaman, Kecamatan Kualin, ini mengungkapkan, anak didik yang tidak bisa membaca tersebar merata di setiap jenjang.
"Jumlah murid di sekolah kami ada 78 murid. Nah, anak yang tidak bisa baca tulis itu ada di kelas VII, VIII, dan IX," ungkap Trifosa.
Rinciannya, kelas VII sebanyak dua anak, kelas VIII ada tujuh anak, dan kelas IX ada tiga anak.
Demi menyiasati agar anak-anak tersebut mampu menyerap pelajaran, para guru biasanya mengajari mereka membaca terlebih dahulu dengan sabar sebelum mulai belajar.
Materi belajar membaca berkaitan dengan mata pelajaran yang akan diberikan setelahnya.
Guru IPA di SMPN Kie, Kecamatan Kie, bernama Defretis Salem (36) menambahkan, Kurikulum Merdeka yang menjadi acuan pembelajaran tak menyediakan ruang bagi anak didik untuk tidak naik kelas.
Oleh sebab itu, ada murid kelas VII dan IX yang tidak dapat membaca dan menulis.
"Kurikulum sekarang tidak memungkinkan anak yang tidak bisa itu tidak naik kelas."
"Jadi, meskipun dia sebenarnya tidak memungkinkan, tetap harus naik kelas," ujar Defretis.
Kendati begitu, ketika masih menggunakan kurikulum terdahulu, keadaan tidak jauh berbeda.
Di sekolahnya sendiri, ia tidak tahu persis berapa anak yang tidak bisa membaca.
Tetapi di kelasnya sendiri ada satu orang.