Ramadan 2024

Ramadan Kurang 8 Hari, Bagaimana Hukum Jika Tak Mengganti Utang Puasa Sebelumnya? ini Penjelasannya

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ramadan sebentar lagi, bagi yang memiliki utang puasa tahun sebelumnya hendaknya untuk segera melunasinya.

Menggunakan contoh ilustrasi di atas, bagaimana bila orang tersebut meninggal karena cederanya dan tak berkesempatan membayar utang puasanya?

Apakah ahli warisnya harus menggantikan membayar utang puasa itu atau bagaimana?

Merujuk hadist Aisyah, ahli waris dianjurkan untuk menggantikan puasa terutang itu.

Namun, hukum bagi ahli waris menggantikan utang puasa tersebut hanya sunnah, bukan wajib.

Ini selaras pula dengan hadist Ibnu Abbas:

“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya.
Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.”

Hadist di atas muncul juga dalam kitab sahih hadist riwayat Bukhari nomor 1953 dan Muslim nomor 1148. 

Siapa yang dibolehkan batal puasa untuk di-qadha sesudahnya?

Yang dibolehkan atau punya keringanan untuk melaksanakan puasa di luar bulan Ramadhan sejatinya hanya tiga kelompok, yaitu:

- Orang sakit dan sakitnya memberatkan dirinya untuk berpuasa. Kelompok ini mencakup juga perempuan hamil dan menyusui yang kondisinya berat untuk menjalankan puasa.

- Musafir yang perjalanannya membuat dia berat melakukan puasa.

- Perempuan haid dan nifas. 

Adapun di luar ketiga sebab itu, sejumlah ulama dengan mendasarkan pada ushul fiqh berpendapat ibadah yang sudah diatur waktu awal dan akhirnya tidak bisa diganti ketika ditinggalkan.

Yang bersangkutan hanya bisa bertaubat untuk memohon ampunan atas kesalahannya meninggalkan ibadah itu. 

Tata cara fidyah

Bila merujuk pada pendapat ulama tentang kewajiban tambahan menjalankan fidyah ketika utang puasa tak terbayar hingga Ramadhan berikutnya tiba, ada sejumlah hal yang harus diketahui pula terkait fidyah.

Al Quran mengatur soal fidyah dalam konteks puasa ini di QS Al Baqarah ayat 184.

Namun, sahabat dan ulama menjelaskan bahwa ayat ini sejatinya diperuntukkan bagi mereka yang sudah tua renta dan sakit yang bahkan untuk meng-qadha puasa pun tidak mungkin lagi.

Pendapat ini dianut pula oleh mazhab Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. 

Meski demikian, untuk pemakaian yang lebih luas, rujukan soal definisi fidyah itu tetap dipakai, yaitu bahwa fidyah berarti memberi makan satu orang miskin.

Dalam hal puasa, fidyah berarti memberi makan satu orang miskin sampai sejumlah hari utang puasa Ramadhan yang ditinggalkan. 

Poin pentingnya, fidyah tidak boleh diganti dengan uang. Fidyah harus berupa makanan yang diberikan kepada orang miskin.

Soal kadar dan jenis makanan yang diberikan, para ulama condong pada pendapat untuk menyesuaikannya dengan standar dan kelayakan makanan dari orang yang punya utang puasa itu sendiri. 

Soal pembayarannya, bisa satu hari memberi satu orang miskin sampai jumlah hari yang puasanya terutang.

Atau, cara kedua, sekaligus pada satu hari memberi makan sejumlah orang miskin sesuai jumlah hari utang puasanya. Katakanlah punya utang puasa lima hari maka pada satu hari memberi makan lima orang miskin.

Pemberiannya pun boleh dilakukan secara terpisah, semisal diantarkan, atau sebaliknya mengundang para penerima ke suatu tempat. 

Rujukan untuk cara mengundang ini antara lain dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika di usia senjanya kesulitan menjalankan puasa dan menggunakan dalil di QS 2: 184 di atas. 

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

Berita Terkini