Hikmah Ramadan

The Power of “Puasa”

Editor: Ndaru Wijayanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA, Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur dalam artikel Hikmah Ramadan berjudul The Power of “Puasa”

Oleh: Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA

(Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur)

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Alhamdulillah, kita sangat bersyukur diberi kesempatan berpuasa ramadhan. Kesempatan yang selalu kita impikan, dan sejak memasuki bulan rajab kita selalu berdoa memperoleh keberkahan selama bulan rajab dan bulan sya’ban, dan bisa menangi bulan ramadhan, bulan yang penuh berkah, dan sebulan kita akan melaksanakan ibadah puasa.

Puasa, dalam bahasa arab disebut “shaum” dan “shiyam”. Dalam al-qur’an, kata-kata yang berarti puasa tersebut dalam beberapa ayat, yaitu: Surah al-Baqarah ayat 183, 184, 185, 187, 196, Surah al-Maidah ayat 89, 95, Surah an-Nisa’ ayat 92, Surah al-Mujadilah ayat 4, Surah Maryam ayat 26, dan Surah al-Ahzab ayat 35.

Inti puasa adalah mengendalikan diri, menahan diri dari makan dan minum serta perbuatan-perbuatan tertentu sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, sehingga sebulan dalam setahun kita dilatih menjalani kehidupan yang berbeda dari hari-hari biasa.

Tidak makan sesuai jadwal dimana biasanya kita makan atau menahan desakan melakukan hubungan seksual bisa menjadi sesuatu yang sulit, kecuali bagi mereka yang kemampuan kontrolnya baik.

Tidak makan dan tidak minum bukan sekedar melatih fisik agar sehat dan kuat. Fokusnya justru pada kendali diri, yakni: mampukah seseorang mengendalikan diri hingga saraf-saraf otaknya tidak memerintahkan tangannya mengambil makanan/minuman nikmat yang ada di depannya?, bisakah kendali dirinya menahan untuk tidak menggauli istrinya yang molek menggoda?, yang ditantang adalah kendali diri dan ketahanan imannya menghadapi nafsunya sendiri.

Ayat yang paling sering dikutip dalam mimbar-mimbar ramadlan, adalah ayat 183 surat al-Baqarah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. Tulisan ini ingin mengemukakan kekuatan ibadah puasa (the power of puasa).

Baca juga: Puasa dan Pembentukan Kepribadian

Pertama, Allah Swt menyeru/mengundang orang-orang yang beriman dengan kata kerja aktif (āmanũ). Ini menunjukkan bahwa iman, sebagai kata kerja, bersifat aktif dan dinamis, kadang naik kadang turun sebagaimana diungkapkan Nabi Saw, “iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang/al-ĩmānu yazĩdu wa yanqushu”.

Dengan redaksi demikian seolah ingin mengundang semua orang yang dihatinya ada iman, baik yang sudah kuat atau yang masih lemah, yang teguh atau rapuh, yang tebal atau tipis, dengan seruan yang sangat mesra: “Yā ayyuhal ladĩna āmanũ…”

Kedua, jika terhadap obyek yang diseru/diperintah Allah menggunakan kata kerja aktif, isi perintah itu sendiri dinyatakan dengan kata kerja pasif, yaitu kutiba alaikum as-shiyām… (dituliskan, ditetapkan, dan diwajibkan atas kamu berpuasa).

Kenapa dalam perintah puasa Allah tidak menggunakan amar yang lugas dan tegas seperti perintah shalat (aqimish shalāta lidzikrĩ), zakat (khudz min amwālihim shadaqatan tuthahhiruhum), dan haji (wa atimmul hajja wal umrata lillāh)?.

Jika ditelaah ayat-ayat al-qur’an, kata “kutiba” yang digandengkan dengan kata “‘alaikum” biasanya digunakan untuk perkara yang mengandung unsur masyaqqah (kesulitan) yang membuat manusia enggan menjalankannya.

Misalnya ayat kutiba ‘alaikumul qitāl wahuwa kurhun lakum (diwajibkan atas kamu berperang padahal engkau tidak menyukainya) atau ayat kutiba ‘alaikumul qishāshu fĩl qatlā (diwajibkan bagimu qishash dalam perkara pembunuhan), ini semua mengandung kesulitan dan keberatan sehingga bentuk perintahnya bersifat pasif (kutiba) dan persuasif ketimbang perintah hirarkhis vertikal.

Allah memupuk moral dan mental orang beriman, bahwa didalam kesulitan terdapat kebaikan, sehingga tanpa perintah yang tegaspun, kelak manusia akan memetik buah kebaikan dari perbuatan itu. Misalnya, puasa penting untuk kesehatan manusia (shũmũ tashihhũ), puasa penting untuk kebaikan manusia (waantashũmũ khairul lakum…). 

Ketiga, Allah Swt menjelaskan bahwa kewajiban puasa pernah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu (kamā kutiba ‘alal ladzĩna min qablikum).

Ini berarti bahwa puasa bukan hanya khusus untuk generasi mereka yang diajak dialog pada masa turunnya ayat ini, tahun ke-2 hijrah, tetapi juga terhadap umat-umat terdahulu, walaupun kaifiyahnya berbeda-beda.

Pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang Mesir kuno (sebelum mereka mengenal agama samawi) telah mengenal puasa.

Dari mereka praktek puasa beralih kepada orang-orang Yahudi dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama penyembah bintang, Agama Budha, Yahudi dan Kristen.

Ibn an-Nadim dalam Al-Fahrasat, menyebutkan bahwa agama para penyembah bintang berpuasa 30 hari setahun, ada pula puasa sunnah 16 hari dan ada yang 27 hari.

Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, dan juga kepada matahari. Dalam ajaran Budha juga dikenal puasa, sejak terbit sampai terbenamnya matahari. Mereka melakukan puasa 4 hari dalam sebulan, mereka menamainya “uposatha”, pada hari-hari ke-1, ke-9, ke-15, dan ke-20.

Orang Yahudi mengenal puasa selama 40 hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi penganut-penganut agamanya, untuk mengenang para nabi atau peristiwa-peristiwa penting.

Agama Kristen juga demikian, walaupun dalam kitab Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam praktek dikenal beragam puasa yang ditetapkan oleh pemuka agama.

Semua ini menunjukkan, bahwa ajaan Islam khususnya puasa, sebagai kelanjutan dan penyempurnaan ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Selain itu, puasa merupakan ritual universal, semua generasi pernah menjalankan, meskipun kaifiyah (cara dan aturannya) berbeda-beda.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Ad-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur, meriwayatkan hadits yang menerangkan kewajiban puasa telah ada sejak Nabi Adam As.

Ketika terusir dan diturunkan dari Surga ke bumi karena makan buah terlarang, Nabi Adam As melakukan puasa pertobatan, 3 hari sebulan, yaitu di hari-hari putih (ayyamil bidz) tanggal 13, 14, dan 15. Puasa ini dilestarikan hingga Nabi Nuh As.

Nabi Musa As kemudian diperintahkan berpuasa selama 40 hari dalam setahun, tetapi kelak orang Yahudi hanya berpuasa 2 hari, yang dikenal dengan ‘Asyura (tanggal 9-10 Muharram), yaitu puasa untuk memperingati dan mensyukuri penyelamatan Tuhan atas bangsa Israel. Sebelum puasa ramadlan ditetapkan pada tahun ke-2 hijriyah, Nabi Muhammad As melakukan puasa ayyamil bidz dan puasa ‘ayura.

Keempat, Allah memerintahkan puasa sebagai jalan/metode agar manusia bertakwa (la’allakum tattaqũn). Takwa berasal dari kata waqa yaqi wiqayatan yang berarti menjaga atau melindungi.

Dari kata ini para ulama mendefinisikan takwa sebagai menjaga diri dari murka Allah dan api neraka dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.

Dengan demikian, puasa ramadhan merupakan design pendidikan samawi, dalam mendorong dan mengantarkan manusia beriman menjadi manusia bertaqwa. Itulah pendidikan samawi, yang pernah dialami Nabi Muhammad Saw sehingga Nabi Saw menegaskan: “addabanî rabbî faahsana ta’dîbî/Tuhanku telah mendidikku, maka ia baguskan pendidikanku” (HR. Sam’ânî). Bahkan, Allah Swt memberi jaminan: “dengan berpuasa, akan menjadi lebih baik bagimu, jika kamu benar-benar mengetahui” (QS. Al-Baqarah, 2: 184). Kita harus terus mengkaji The Power of “Puasa”, karena berpuasa, khususnya puasa Ramadhan, membawa banyak berkah dan hikmah. Wallāhu a’lam…!

Berita Terkini