Tidur di Bawah Pohon, Mbah Mael Cuma Beralaskan Kayu & Beratapkan Karung, Makan dari Belas Kasihan

Penulis: Alga
Editor: Mujib Anwar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kondisi pria tua sebatang kara yang tinggal di bawah pohon dekat Jalinsum Palembang-Kayuagung di Indralaya, Minggu (26/5/2024).

Ia menangis tersedu-sedu sambil memeluk anaknya, Marmi, yang hilang selama 30 tahun.

Bahkan Mbah Wiji menganggap Marmi sekeluarga sudah meninggal dunia tersapu tsunami Aceh 2004.

Namun Marmi pulang bersama sejumlah anaknya dan membuat Mbah Wiji larut dalam keharuan.

"Anak selama ini tidak tahu keberadaannya, tiba-tiba muncul," ucap Mbah Wiji yang masih enerjik, dengan mata berkaca-kaca penuh haru.

Ia mengaku, selama ini selalu merindukan anak sulungnya tersebut.

Setiap kali pergi ke pasar, pandangannya selalu menelisik, berharap bisa bertemu Marmi.

Demikian juga jika ada orang asing di lingkungannya, Mbah Wiji berharap sosok tersebut adalah cucunya yang tersesat saat pulang.

"Sekarang sudah senang, bisa bertemu anak yang selama ini hilang. Saya ingat dulu anaknya lima, sekarang malah nambah cucu 19," kata Mbah Wiji.

Mbah Wiji (tengah) diapit cucunya, Suyadi, dan anaknya, Marmi, yang terpisah puluhan tahun (TRIBUNJATIM.COM/David Yohanes)

Diketahui, Marmi pergi ke Riau sekitar tahun 1975-1976 silam.

Saat itu, ia berangkat bersama suaminya, Samani, dan dua anaknya, Sutrimo serta Suyadi yang berganti nama menjadi Yatimin.

Pada awalnya, Marmi masih sering berkirim surat ke keluarganya di Desa Kaliwungu.

Bahkan di tahun 1984, Marmi sempat pulang ke Tulungagung.

Namun di tahun 1990-an, Marmi dan Mbah Wiji putus kontak.

Sampai kemudian terjadi bencana tsunami 2004 di Aceh, tersiar kabar jika keluarga Marmi ikut menjadi korban.

Mbah Wiji menganggap, keluarga Marmi sudah cures (habis semuanya).

Halaman
1234

Berita Terkini