Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Ahmad Faisol
TRIBUNJATIM.COM, BANGKALAN – Keheningan momen politik menjelang Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bangkalan pada Pilkada 2024 mendadak gaduh.
Seiring operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menggeledah rumah anggota DPRD Jatim, Mahfud di Perum IMC, Jalan Halim Perdana Kusuma, Bangkalan pada Selasa (9/7/2024) malam.
Dari rumah kader PDI Perjuangan itu, KPK mengamankan dua buah handphone (HP) serta uang senilai total sekitar Rp 300 juta. Sebagaimana disampaikan Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bangkalan, H Fatkhurrahman pada Rabu (10/7/2024) petang.
Dalam Pilkada 2024, Mahfud memantapkan diri untuk maju dalam kontestasi sebagai Bakal Calon Bupati Bangkalan. Bahkan saat ditemui Tribun Madura di rumahnya, Selasa (2/7/2024), sejumlah partai politik bahkan disebut politisi kelahiran Bangkalan di tahun 1975 itu telah menjatuhkan rekomendasi kepada dirinya.
Namun kehadiran KPK dalam operasi penggeledahan rumah Mahfud mengoyak keheningan kontestasi bakal calon bupati, menggetarkan panggung politik, hingga menimbulkan segudang asumsi liar, baik di tengah masyarakat maupun di media sosial. Apalagi pendaftaran Calon Bupati Bangkalan akan dimulai pada Agustus 2024 mendatang.
Baca juga: Empat Anggota DPRD Jatim Jadi Tersangka Baru Kasus Dana Hibah Pokir, KPK: Ada Penggeledahan Rumah
Dosen Ilmu Hukum Pidana Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Dr Syamsul Fatoni saat dimintai pendapat atas penggeledahan di rumah bakal calon bupati Mahfud mengungkapkan, memang pada prinsipnya dalam penegakan hukum terkadang tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur atau anasir di luar hukum itu sendiri.
“Jadi kalau menurut saya, hukum itu tidak bisa berdiri sendiri, terkadang kemudian di dalamnya tentu ada unsur-unsur di luar hukum seperti politik, ekonomi, termasuk mungkin juga sosial budaya,” ungkap Dr Syamsul kepada Tribun Madura, Kamis (11/7/2024).
Namun secara prinsip, lanjutnya, pada penegakan hukum berlaku asas equality before the law (semua orang sama dan setara di hadapan hukum).
Dengan memperhatikan prinsip dan asas hukum yang berlaku, maka setiap penegakan hukum tidak akan mengesankan muatan-muatan kepentingan ataupun kesan tebang pilih. Mengingat juga masyarakat akan menilai kinerja para penegak hukum.
“Prinsipnya harus ada transparansi. Cuma semisal masalahnya kemudian dicari-cari, orang kalau dicari-cari bisa saja, kalau kita ngomong kelemahannya. Jadi prinsipnya, di dalam penegakan hukum ya sebetulnya harus transparan, melalui rilis atau sebagainya. Sehingga kemudian masyarakat juga tidak akan menilai bahwa ini ada tendensi atau ada muatan politik” jelas Dr Syamsul.
Baca juga: KPK Geledah Rumah Warga di Sampang usai dari Rumah Anggota DPRD Jatim di Bangkalan
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan bahwa operasi penggeledahan sebagai upaya mengumpulkan barang bukti untuk melengkapi berkas perkara lama. Kasus lama yang disebut Alexander Marwata adalah perkara pokok pikiran menyangkut alokasi dana hibah Pemprov Jawa Timur.
Untuk diketahui, KPK telah menetapkan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simanjuntak sebagai tersangka suap dana hibah Pemprov Jawa Timur. Ungkap kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan pada penghujung 2022 silam.
Majelis Hakim Pengadilan TIndak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Surabaya kemudian mendakwa Sahat menerima suap Rp 39,5 miliar dan divonis kurungan pidana selama 9 tahun penjara.
Dikutip dari Kompas.com, Alexander Marwata kemudian pada Rabu (10/7/2024) menyatakan, KPK telah menetapkan 4 orang anggota DPRD Jatim sebagai tersangka dalam dugaan suap pokok pikiran dana hibah Pemprov Jatim. Namun hingga Rabu petang, KPK secara resmi belum menggelar siaran pers atas kegiatan penegakan hukum tersebut.
Belakangan di media sosial, beredar inisial nama 4 orang itu lengkap dengan jabatannya, K (Ketua DPRD Jatim/Fraksi PDI Perjuangan), AS (Wakil Ketua DPRD Jatim/Fraksi Gerindra), AL (Wakil Ketua DPRD Jatim/Fraksi Demokrat), dan MF (anggota DPRD Jatim/Fraksi PDI Perjuangan Dapil Madura).
“Khawatirnya seperti itu, kalau berbicara penegakan hukum, oke lah. Tetapi jangan kemudian misalnya ada sprindik baru, orang kan juga bisa saja menduga-menduga, ada apa ini?. Apakah ini, mohon maaf, bukan kelompoknya kemudian selalu menjadi target atau kah mungkin sebaliknya?,” papar Dr Syamsul.
Karena itu, lanjutnya, apabila memang harus dilakukan penangkapan harus pula ada transparansi melalui siaran pers atau rilis. Termasuk dasar dari sprindik baru harus disampaikan juga. Sehingga kemudian tidak berkembang menjadi bola liar di tengah masyarakat.
“Karena masyarakat boleh saja berasumsi, tidak ada yang melarang dan kita sulit membendung itu. Mana ini yang benar, mana ini kemudian hanya hoaks. Kita itu kadang terpengaruh media sosial,” pungkasnya