Berita Pendidikan

AI Mengajar, Sastra Mati Perlahan

Editor: Samsul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Di zaman yang serba instan, kecerdasan buatan (AI) hadir bak dewa baru dalam dunia pendidikan.

AI seharusnya cukup menjadi pelengkap bukan pengganti. Ia dapat digunakan untuk menganalisis pola-pola dalam teks, membantu menemukan referensi dengan cepat, dan bahkan memfasilitasi diskusi interaktif. Namun, AI tidak boleh menjadi jalan pintas yang mengabaikan proses pemikiran kritis, perenungan, dan eksplorasi kreatif yang menjadi jantung dari pendidikan sastra.

Saya juga tidak menutup mata terhadap fenomena mahasiswa khususnya program studi bahasa dan sastra mulai menggunakan AI untuk membuat puisi, cerpen, atau karya lain mereka. Ini adalah tanda kemalasan intelektual yang mengkhawatirkan yang sering kali didorong oleh teladan buruk dari para oknum pendidik.

Harus saya highlight sekali lagi bahwa penggunaan AI tanpa batasan dapat menciptakan generasi yang tidak pernah benar-benar belajar.

Maka dari itu, saya mengajak rekan-rekan pendidik dan sastrawan untuk introspeksi. Apakah kita masih mengajar dengan semangat dan dedikasi yang sama seperti sebelum kehadiran AI? Ataukah kita sudah mulai menyerah pada godaan kemudahan, sehingga mengikis hakikat dari apa yang kita ajarkan?

AI hanyalah alat. Jangan biarkan kita menjadi budak dari alat yang kita ciptakan. Ingatlah! sastra adalah tentang manusia. Tentang makna yang digali dari pengalaman hidup yang tak terhitung.

Tentang kata-kata yang membawa emosi dan pikiran. Tidak ada AI yang bisa menggantikan itu karena pada akhirnya, ruh sastra adalah ruh manusia.

Kita harus memastikan bahwa dalam setiap penggunaan teknologi, kita tetap memegang kendali atas makna, kedalaman, dan esensi dari apa yang kita ciptakan serta ajarkan.

Berita Terkini