TRIBUNJATIM.COM - Kecanggihan teknologi dimanfaatkan pedagang asongan untuk mendapatkan cuan.
Pedagang asongan bernama Yanto tersebut menggunakan Google Maps.
Ia sendiri biasa berjualan di kawasan Jalan Raya Puncak Bogor.
Baca juga: Barkah Pakai Kayu Bakar Saking Sulitnya Dapat Gas Elpiji 3 Kg, Aminah Makan Terong Setengah Matang
Seperti diketahui, kawasan wisata Puncak Bogor sangat terkenal dengan kemacetannya terlebih saat musim liburan tiba.
Di balik banyaknya yang mengeluhkan soal macet, terdapat juga orang-orang yang mendapat rezeki.
Seorang pedagang asongan, Yanto, mencari rezeki di tengah antrean kendaraan saat terjebak kemacetan di sepanjang Jalan Raya Puncak.
Dia menjajakan berbagai camilan seperti tahu, telur puyuh, rujak mangga, dan air mineral.
Ia memanfaatkan kemacetan di jalur Puncak untuk menjajakan dagangannya kepada pengendara yang sedang menunggu lalu lintas kembali lancar.
"Kita kan cuma mengandalkan kemacetan doang, kalau enggak macet kan jalan lancar, kosong," ujarnya saat dijumpai TribunnewsBogor.com di Simpang Gadog, Rabu (29/1/2025).
Dalam menentukan lokasi berjualan yang ideal, Yanto memanfaatkan kecanggihan teknologi yaitu aplikasi penunjuk arah.
Sebab di dalam aplikasi tersebut terdapat fitur yang mampu menunjukkan situasi arus lalu lintas dengan akurat.
"Kita cari lokasi yang macet, kan ada Maps, ada macet dimana, kita kejar," jelas Yanto.
Pria berusia 55 tahun ini mengaku sudah menjalani usaha sebagai pedagang asongan di jalur Puncak Bogor, kurang lebih lima tahun.
Selama jadi pedagang asongan, ia selalu bersyukur atas hasil yang didapatkan dengan berjualan hingga hari berganti gelap.
Bagaimanapun kondisi cuaca di kawasan Puncak Bogor, Yanto mengaku tak pernah pulang dengan tangan kosong meskipun penghasilannya pas-pasan.
"Pasti dapat, cuma bedanya kecil sama besar. Kalau menurut kami besar ya, itu Rp150 ribu, penghasilan pas-pasan."
"Kalau kecilnya Rp30 ribu, Rp20 ribu mah dapet," ungkap Yanto.
Sementara itu, Yanto mengaku tak ada pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah seiring bertambahnya usia yang semakin menua.
Di sisi lain, kata dia, ada istri dan tiga anaknya di rumah yang harus terpenuhi kebutuhannya.
"Penginnya sih kerja, cuma kalau udah tua begini kan jarang yang pakai tenaga udah tua, apa boleh buat, mau enggak mau harus nyari usaha," tandasnya.
Baca juga: Sampai Keliling 20 Warung, Warga Tetap Tak Dapat Gas Elpiji 3 Kg, Sindir Pemerintah: Kok Tega?
Kisah lainnya datang dari mantan pegawai koperasi, Mariono (40), yang memilih resign karena tidak bisa jujur.
Pria tersebut kini memilih banting setir menjadi tukang rumput pakan ternak.
Ia mengaku bersyukur kini bisa kerja jujur meski penghasilan pas-pasan.
Sehari-harinya, Mariono bekerja sama dengan sang ibu, Sunari (67).
Perempuan asal Desa Banjarejo, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ini tampak duduk melamun di antara tumpukan ikatan rumput pakan ternaknya.
Seorang pria lalu datang menghampirinya, hendak membeli rumput pakan ternak yang dijual Sunari.
Dengan usianya yang mencapai 67 tahun, Sunari sudah tidak mampu mengangkat ikatan rumput tersebut.
Pembeli harus mengangkat sendiri.
Tidak lama kemudin, Mariono datang mengendarai sepeda motor dengan tiga ikat rumput padi di boncengannya.
Diketahui, Sunari dan Mariono sudah enam tahun berdagang rumput pakan ternak.
Sebelumnya, Mariono keluar dari pekerjaanya sebagai karyawan koperasi pada tahun 2019.
Mariono merasa tidak cocok bekerja di koperasi karena lingkungan kerjanya yang toxic.
"Saya memilih keluar dari koperasi karena saya tidak cocok dengan lingkungan kerjanya," ungkap Mariono, Selasa (28/1/2025), dilansir dari Kompas.com.
"Lingkungan kerja di koperasi tidak memberi kesempatan untuk orang jujur. Kami harus tidak jujur kepada semua orang agar bisa tetap eksis," imbuh dia.
Ia pun banting setir sebagai pedagang rumput bersama ibunya yang sebelumnya bekerja sebagai buruh tani.
Ibu dan anak tersebut saling bekerja sama dan berbagi tugas.
Mariono yang mencari rumput di ladang-ladang di area Kecamatan Gondanglegi, sementara Sunari berperan menjaga dagangannya.
"Selain menjual rumput hasil merumput sendiri, kami juga menjual rumput hasil merumput orang lain."
"Kalau terjual, ibu saya mendapat persentase Rp2.000 per ikat," jelasnya.
Adapun per ikat rumput dibanderol dengan harga Rp10.000-Rp 20.000.
Dalam sehari, keduanya bisa menjual 5 sampai 7 ikat.
"Penghasilannya ya untuk kehidupan sehari-hari keluarga kami dan biaya sekolah kedua anak kami," ungkap Mariono.
Baca juga: Per 1 Februari Pengecer Dilarang Jual LPG 3 Kg Lagi, Pemilik Warung: Kami Ini Mempermudah Masyarakat
Menurut Mariono, penghasilannya tersebut cukup untuk hidup sehari-hari.
Ia juga bisa membiayai pendidikan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), meski beberapa kebutuhan kurang tercukupi.
"Tapi ditopang hasil kerja istri saya sebagai buruh setrika," tuturnya.
Mariono bersyukur dengan penghasilannya sebagai pencari rumput.
Meskipun, penghasilan tersebut hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari.
Ia memiliki cita-cita untuk membiayai pendidikan kedua anaknya hingga ke tingkat perguruan tinggi.
Ia pun nyaman bekerja jujur yang kini dilakoninya.
"Insyaallah yang penting bekerja dengan baik dan jujur, saya yakin hasil kerja kami mampu untuk membiayai anak-anak kami," tandas Mariono.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com