Kisah Mbah Yem, Nenek di Pare Kediri Menolak Mengemis dan Belas Kasih, Meski Tinggal di Gubuk Reot

Editor: Samsul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TAK MENGEMIS - Mbah Yem saat berada di kediamannya, Kamis (7/2/2025). Di usianya yang ke 66 Mbah Yem tetap tangguh meski hidup sendiri di tengah perkebunan yang lumayan jauh dari pemukiman warga. 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Isya Anshori

TRIBUNJATIM.COM, KEDIRI - Di sudut tersembunyi "Kota" Pare, Kabupaten Kediri, ada seorang nenek berusia 66 tahun yang hidup dengan penuh keteguhan hati.

Namanya Mujiem, atau yang akrab disapa Mbah Yem. 

Mbah Yem tinggal seorang diri di sebuah rumah mungilnya berukuran lima kali tiga meter, tepatnya di belakang area Pemandian Corah Pare di Jalan Pare-Kandangan, Tarunsakti. 

Rumahnya sederhana, tanpa desain rumit hanya berbentuk persegi panjang yang terbagi menjadi dua ruangan satu untuk tidur dan satu lagi untuk dapur. 

Dinding rumahnya terbuat dari triplek yang sudah mulai rapuh.

Baca juga: Setelah Antre Beli Gas Elpiji 3 Kg, Mbah Yonih Duduk Lemas Lalu Meninggal, Impian Umrah Gagal Total

Beberapa bagian bahkan harus disangga dengan bambu agar tidak roboh. 

Rumah itu berdiri di antara pepohonan besar dan rimbun, sehingga suasana sepi yang bagi sebagian orang mungkin terasa menyeramkan.

TETAP TANGGUH - Mbah Yem saat bersama Koordinator Gusdurian Mojokutho Pare, Anugerah Yunianto dikediamannya, Kamis (7/2/2025). Di usianya yang ke 66 Mbah Yem tetap tangguh meski hidup sendiri di tengah perkebunan yang lumayan jauh dari pemukiman warga.

Namun, bagi Mbah Yem, itu adalah tempat tinggal yang nyaman. Ia tidak takut hidup sendiri dan menolak bergantung pada orang lain.  

Baca juga: 30 Tahun Ditempati, Rumah Mbah Asmawati Diratakan oleh Pengadilan Meski SHM: Saya Beli dari Nol

Untuk mencapai rumahnya, bukan perkara mudah. Tim Tribun Jatim Network harus dipandu oleh Koordinator Gusdurian Mojokutho Pare, Anugerah Yunianto yang akrab disapa Antok menyusuri jalanan setapak yang harus dilewati cukup sulit, bahkan Google Maps pun tidak bisa diandalkan.

Antok sendiri telah lama mengenal Mbah Yem. Ia dan juga komunitasnya juga beberapa kali memberikan bantuan dari oara donatur untuk diberikan ke Mbah Yem. 

Dari jalan raya, kendaraan harus diparkir di tepi Jalan Semeru atau dekat Mapolsek Pare, lalu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke arah timur melewati jalan setapak persawahan dan aliran sungai kecil belakang Sumber Corah Pare kurang lebih sekitar 10 menit.  

Baca juga: Ingat Sosok Mbah Mijan? Dulu Terkenal Ramal Nasib Artis, Kini Alih Profesi: Atas Ijin Allah

Mbah Yem sebenarnya memiliki seorang anak laki-laki bernama Edi, yang kini sudah berkeluarga. Namun, ia memilih untuk tidak tinggal bersama anaknya karena merasa tidak nyaman tinggal dengan besannya.

Meskipun demikian, Edi tetap berbakti. Setiap sore, ia datang ke rumah ibunya untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.  

Sehari-hari, Mbah Yem menjalani hidup dengan penuh semangat. Ia tidak pernah mengeluh atau merasa sengsara. Senyumnya selalu menghiasi wajahnya saat ada yang berkunjung. Meskipun pendengarannya mulai berkurang, ia tetap berusaha ramah dan selalu meminta maaf jika sulit menangkap percakapan.

Baca juga: 70 Tahun Cari Supiah Istrinya, Mbah Amad Mantan Tentara Nangis di Makam, Keluarga: Hanya Bisa Pasrah

"Nggih pilih teng mriki mawon, tenang (pilih tinggal di sini saja, tenang suasananya - red)," katanya, Jumat (7/2/2025). 

Untuk mencukupi kebutuhannya, Mbah Yem bekerja dengan apa yang bisa ia lakukan.

Seperti berjualan botok yaitu makanan tradisional yang dibuat dari campuran biji lamtoro dan kelapa parut, kemudian dikukus dalam daun pisang.

Baca juga: Sedih Mbah Mail Penjual Singkong Keliling Uang Tabungan Rp 1 Juta Raib Digondol Penipu

Kadang-kadang, ia juga menjual daun pisang atau menerima jasa mencuci dan menyeterika pakaian.

Apa pun pekerjaannya, yang penting bagi Mbah Yem halal. Selain itu, baginya meminta-minta atau berutang adalah pantangan.  

"Aja golek jalukan, aja golek utangan. We mengko lek utang gawe nyaur apa? Ya aja njupukan (Jangan meminta-minta, ataupun mengambil milik orang, nanti bayarnya dengan apa-red)," katanya tegas, menegaskan bahwa ia tidak mau meminta-minta, berutang, apalagi mencuri. Jika ada yang memberinya bantuan, barulah ia bersedia menerima.  

Meski hidup dalam keterbatasan, Mbah Yem masih mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa beras dan uang tunai setiap bulan.

Namun, rumahnya yang reyot belum bisa diperbaiki, dan ia juga tidak memiliki kamar mandi. Setiap hari, ia harus berjalan sekitar 20 meter ke bekas sumber air Pancur untuk mandi.

Sementara untuk mencuci perabotan rumah dilakukan di depan rumahnya.  

Untuk kebutuhan air minum, Mbah Yem memilih membeli air mineral dalam kemasan kecil. Botol-botol bekasnya ia kumpulkan dan jual kembali untuk mendapatkan tambahan uang.

Sebetulnya, menurut Antok di samping rumah Mbah Yem ada salah satu rumah yang dahulu dihuni oleh Mbah Suryo yang sering membuat kerajijan bakiak dari kayu. Namun sekitar 5 tahunan Mbah Suryo telah berpulang dan tinggallah Mbah Yem sendiri. 

"Dulu bakiak Mbah Suryo juga banyak di pesan oleh masyarakat Pare di sini," jelas Antok. 

Terlepas dari itu, di tengah keterbatasan, Mbah Yem tetap menjalani hidup dengan bahagia.

Ia menolak hidup dalam belas kasihan dan tetap berusaha mandiri. Keputusan untuk tinggal sendiri mungkin tampak aneh bagi sebagian orang, tetapi baginya, itulah kebebasan.

Hidup Mbah Yem adalah bukti bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kemewahan, melainkan dari hati yang tulus menerima keadaan dengan ikhlas.

Berita Terkini