Hal ini membuat pelajar terpaksa menyisikan uang jajannya untuk urunan membayar gaji pembina ekstrakulikuler.
"Jadi, anak-anak yang ekskul itu putar otak, entah itu nombok pakai uang sendiri atau apa, supaya bisa bayar gaji pelatihnya gitu," ujar J saat dikonfirmasi, Senin.
J menyatakan, padahal uang SPP Rp250.000 setiap bulannya.
Namun tidak sebanding dengan kebijakan kepala sekolah yang enggan memberikan upah kepada sang pembina ekstrakurikuler.
"Kegiatan ekstrakurikuler tidak dibiayai, bahkan gaji pembina per bulan tidak dikeluarkan sama sekali," ungkapnya.
J juga menyebutkan, pelajar kecewa dengan kepemimpinan kepala sekolah karena kegiatan wisuda yang akan dijalani pelajar Kelas XII ternyata dikomersialkan.
Pasalnya, setiap calon wisudawan diwajibkan mengeluarkan biaya lebih dari Rp1 juta hanya untuk mengikuti kegiatan tersebut.
"Itu enggak masuk akal karena Rp1 juta itu sudah mahal banget. Tapi, pihak sekolah masih minta," ungkap dia.
Baca juga: Kisah Penjual Kacang Bungkus Jadi Vokalis Band, Kini Sudah Jadi Bupati, Ayahnya Tukang Becak
Tak hanya soal permasalahan upah pembina ekstrakulikuler dan biaya wisuda.
Mereka juga kecewa dengan kepemimpinan kepala sekolah terkait fasilitas sekolah yang dianggap kurang layak.
J mengungkapkan, saat pertama kali menjabat sebagai kepala sekolah pada 2023, kepala sekolah pernah berjanji akan membangun fasilitas seperti kamar mandi, fingerprint, dan kamera CCTV.
Meskipun beberapa fasilitas tersebut telah terealisasi, pelajar merasa tidak mendapatkan manfaat yang sesuai.
"Contohnya toilet, kerannya pada copot, gayung pada ilang-ilangan, penutup toilet duduk patah," jelas J.
Atas berbagai masalah ini, para pelajar menuntut agar kepala sekolah mundur dari jabatannya.
J menyatakan, desakan ini sedang dipertimbangkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) Kota Bekasi, yang turun langsung untuk mendengar aspirasi para pelajar.