Biasanya masyarakat membuat ketupat dan disajikan untuk dimakan. Sejumlah tempat juga menggelar kegiatan doa bersama di masjid, setelah itu makan ketupat bareng.
Awal mula, tradisi ini bentuk syukur setelah menjalankan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal. Ini juga sebagai hari raya setelah puasa enam hari Syawal yang memilikinya keutamaan luar biasa.
Berdasarkan dari berapa sumber tradisi ini diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu dari Wali Songo, pada abad ke-15. Beliau memanfaatkan tradisi slametan yang sudah berkembang di masyarakat Nusantara.
Kupatan ini sebagai sarana dakwah untuk mengenalkan ajaran Islam tentang bersyukur kepada Allah SWT. Mereka bersedekah, dan bersilaturahim di hari lebaran.
Ketupat, atau “kupat” dalam bahasa Jawa, merupakan akronim dari “ngaku lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Hal ini melambangkan permintaan maaf dan saling memaafkan antar sesama.
Selain itu, anyaman janur yang membungkus ketupat melambangkan kompleksitas kehidupan manusia.
Sementara warna putih nasi di dalamnya mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah saling memaafkan. Masyarakat merayakannya dengan menganyam ketupat bersama.
Kemudian saling bertukar hidangan, dan mengadakan doa bersama sebagai ungkapan syukur atas kemampuan menjalankan puasa Syawal.
Pramono salah satu warga Desa Banjarsari, Kecamatan Manyar mengatakan tradisi lebaran Ketupat tidak hanya sekadar perayaan budaya, tetapi juga memiliki nilai religius yang mendalam.
Tradisi ini berkaitan dengan anjuran Rasulullah SAW untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, yang pahalanya setara dengan berpuasa selama setahun penuh.
“Momen kupatan untuk ajang bersilaturahmi dengan keluarga dan tetangga agar guyup rukun. Tradisi ini terus dilestarikan sebagai warisan budaya yang sarat makna dan nilai-nilai luhur,” imbuh Pramono.