Jembatan perahu yang dibangun Muhammad Endang Junaedi dan menjadi jalan pintas warga Desa Anggadita, Kecamatan Klari, dan Desa Parungmulya, Kecamatan Ciampel, sudah berusia 15 tahun.
Namun, bentuk perahunya telah berubah dari masa ke masa.
Dahulu, bentuknya bukan jembatan, melainkan perahu dari kayu yang dieret.
Karena itu, jika muatan penuh, perahu dieret menuju sisi sungai seberang dan pengendara yang tidak terangkut harus menunggu.
Kini, penampilannya lebih modern, dengan sekitar 11 perahu ponton yang dijajar dari sisi Dusun Rumambe 1, Anggadita, Kecamatan Klari, hingga Desa Parungmulya, Kecamatan Ciampel.
Di atasnya dipasang pelat besi atau baja. Kemudian, di sepanjang sisi-sisinya dipasang tali pengaman.
Area menuju jembatan diaspal dan dipasang penerangan, baik di sisi sungai Desa Anggadita maupun Parungmulya.
Baca juga: Jembatan Talunbrak Mojokerto Mulai Dibangun, Warga Senang Tak Harus Memutar Lewat Gresik
Konon, jalan di sisi Desa Anggadita itu merupakan jalan buntu yang sunyi.
Di sisi lain jembatan, ada sejumlah pekerja yang tengah melakukan pemeliharaan perahu.
Endang menyebut pegawainya hingga kini ada 40 orang, masing-masing memegang tugas tersendiri.
Ada yang bertugas mengontrol dan mengawasi jembatan perahu, penarik uang dari pengendara, hingga teknisi. Mereka bekerja dengan sistem shift.
Menurut Endang, setiap hari tak kurang dari 10.000 pengendara sepeda motor melewati jembatan perahu ponton itu.
Ia menyebut tak kaku mematok pengendara harus membayar Rp 2.000.
"Pendapatannya tak kurang Rp 20 juta per hari," ucapnya.
Meski begitu, kata dia, tiap hari biaya operasional berkisar Rp 8 juta, mulai dari perawatan, penerangan, hingga upah.
"Perawatan itu termasuk juga perawatan jalan akses ke sini," ucap Endang.
Jembatan ini ramai dilintasi pengendara saat jam berangkat dan pulang kerja karyawan pabrik.
Sebab, banyak pekerja maupun warga menjadikannya jalan pintas.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com