TRIBUNJATIM.COM - Inilah kisah Suroso, penjual kacang yang bisa kuliahkan anaknya hingga menjadi guru.
Saat ditemui, pria berusia 79 tahun itu tengah berjualan di Taman Sritanjung yang asri di Kota Banyuwangi.
Suroso, warga Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi berjualan kacang kulit rebus selama 40 tahun.
Tiap hari kecuali hari Senin dan Jumat, Suroso memanggul 15 kilogram kacang kulit rebus dan dijual seharga Rp 2.000 per ikat.
“Saya bersiap setelah salat subuh, berangkat jualan jam tujuh pagi,” ungkap Suroso mengawali ceritanya pada Kamis siang (9/1/2025), melansir dari Kompas.com.
Suroso memulai perjalanannya dengan menumpang bus menuju kecamatan paling utara Banyuwangi yaitu Wongsorejo.
Dari sana, dia mulai berjalan kaki menyusuri banyak titik yang dirasa akan ramai pembeli.
Dari Kecamatan Wongsorejo, dia terus berjalan ke selatan, dan biasanya bakal tiba di Kota Banyuwangi pada sore atau malam hari.
Bukan langsung pulang, dia masih meneruskan usaha untuk menjual habis kacang-kacangnya. “Kadang sampai jam 12 malam. Kacang habis, saya pulang,” tutur Suroso.
Dari perjalanan sejauh itu, rata-rata Suroso memeroleh uang antara Rp 80-100 ribu, sudah dipotong setoran ke juragan, ongkos bus, dan lain-lain.
Meski perjalanannya terlihat amat melelahkan, namun pria kelahiran tahun 1945 itu malah mengaku menikmati pekerjaannya.
Terlebih, dia juga merasa aman karena tak pernah sekalipun mengalami kejadian yang tak mengenakkan, apalagi peristiwa yang mengancam keselamatannya.
“Puluhan tahun berjualan, saya tidak pernah mengalami hal buruk. Justru saya banyak bertemu orang-orang baik yang borong atau kadang memberi uang,” ungkap dia.
Baca juga: Kisah Haru Penjual Cireng di Jombang, Solihati dan Nanik Berangkat Haji dari Hasil Nabung 13 Tahun
Di sisi lain, dengan mata berbinar, Suroso menceritakan, dari berjualan kacang itu dia dapat memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Bahkan, dia berhasil mengantarkan satu dari empat anaknya menggapai cita-cita menjadi guru.
“Saya semangat kerja supaya anak saya jangan sampai putus sekolah. Sejak kecil ranking, saya sekolahkan, dapat beasiswa, sekarang guru SD,” ujar dia dengan nada bangga.
Selain itu, dari berjualan kacang pula dia masih bisa menyisihkan pendapatannya, sedikit demi sedikit untuk merenovasi rumah, serta mengikuti wisata religi berziarah ke makam Wali Songo.
“Alhamdulillah saya bisa ziarah Wali Songo. Satu orang Rp 750 ribu, saya berangkat dengan istri jadi Rp 1,5 juta,” catusnya.
Perjalanan wisata religi itu terasa amat berharga, karena bagi dia dan istri, pergi ke luar kota adalah sesuatu yang istimewa dan tidak bisa dilakukan setiap bulan, atau bahkan setiap tahun.
Kini, pria dengan senyum khas itu mengaku tak memiliki harapan khusus selain terus sehat di usia senjanya, dan berharap jerih payahnya bisa membahagiakan cucu-cucunya.
Baca juga: Pantas Bisa Punya 20 Gerobak, Siti Penjual Cilok Ikhlas Sedekahkan 1000 Biji Tiap Hari, Makin Laris
Sebelumnya juga muncul kisah Junaedi, tukang tamban yang bisa kuliahkan anaknya.
Pria berusia 54 tahun sudah lama jadi tukang tambal ban di depan salah satu mal di Surabaya, Jawa Timur.
35 tahun jadi tukang tambal ban, Junaedi mengatakan bahwa kunci bahagianya adalah rajin shalat malam dan berpuasa Senin-Kamis.
"Yang penting kita taat sama Gusti Allah, pasti diberi kebahagiaan," kata Junaedi saat ditemui di lapaknya, Jumat (24/1/2025).
Menurut Junaedi, ketenangan batin, kesehatan, dan keharmonisan keluarga merupakan definisi dari bahagia yang ia yakini.
"Rezeki itu sudah ada yang mengatur. Kalau yang kaya aja belum tentu bahagia, jadi kita yang enggak kaya harus bahagia," ucapnya sembari tertawa, melansir dari Kompas.com.
Penghasilan Junaedi pun tak pasti. Jika beruntung dalam sehari dia bisa mendapatkan Rp50.000.
Namun, lebih sering tidak ada pelanggan sama sekali, kata dia.
"Istri saya juga bantu jualan nasi bungkus didekat sekolah disana. Jadi sedikit terbantu, yang penting kita sudah berusaha" sambungnya.
Selain menjadi tukang tambal ban, dulu Junaedi pernah bekerja sebagai tukang becak.
Tetapi karena pelanggan yang semakin sepi, akhirnya dia menjual becaknya.
"Semuanya saya coba, yang penting bisa pulang bawa rezeki yang halal," tutur Junaedi.
Berkat kegigihan dalam bekerja dan doa tanpa henti, Junaedi kini mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.
"Meskipun saya lulusan SD (Sekolah Dasar), tapi saya selalu ingin anak saya bisa kuliah," kata dia.
Putrinya, Rahmawati (21) kini sedang menempuh pendidikan untuk meraih gelar sarjana dari jurusan Manajemen di Universitas Bhayangkara, Surabaya.
Baca juga: Dulu Buruh Pabrik, Suryadi Kini Raup Rp200 Juta karena Budidaya Alpukat, Nekat Meski Tak Punya Lahan
Untuk biaya kuliah, Junaedi mengaku harus mengeluarkan uang sebesar Rp1,35 juta per semester. Biaya tersebut dia tanggung sendiri tanpa ada bantuan dari Pemerintah.
"Anak saya sudah pernah coba buat daftar KIP (Kartu Indonesia Pintar), tapi juga enggak pernah lolos, enggak tahu kenapa," kata dia.
Berbagai program beasiswa juga sudah dicoba, tapi selalu gagal.
Biar pun begitu, Junaedi selalu tegas melarang anaknya untuk kuliah sambil bekerja.
"Memang tugasnya saya sebagai orangtua untuk mencari nafkah. Sudah, kamu cukup fokus sekolah," ucap dia sambil lagi-lagi tersenyum.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com