Kini, ketika tanah mulai berbuah, kehidupan mulai mapan, negara hadir dengan satu narasi: “ini kawasan hutan”.
Kasus jembatan Haji Endang yang viral telah memberikan kontribusi dalam membantu menghubungkan dua desa dan memudahkan ribuan pekerja pabrik melintasi sungai.
Jembatan tersebut telah berfungsi selama 15 tahun, dibangun tanpa dana negara, tanpa APBD. Ia menjadi solusi nyata, lahir dari gotong royong dan kebutuhan bersama.
Namun kini, jembatan tersebut berada dalam ancaman pembongkaran karena dianggap tidak memiliki izin alias ‘jembatan ilegal’ dan berdiri di atas sempadan sungai.
Pertanyaan yang muncul bukan sekadar soal legalitas administratif, tapi benarkah seperti ini cara negara saat mereka tidak bisa berbuat?
Fenomena ini menunjukkan kegagalan negara dalam membaca sejarah sosial masyarakat setempat. Infrastruktur yang lahir dari gotong royong dan kemandirian lokal kini dihadapkan pada sanksi administratif yang baru ditetapkan bertahun-tahun setelahnya.
Dalil hukum tentang penertiban kerap mengabaikan kenyataan bahwa peta ruang yang diresmikan negara tidak selalu merefleksikan realitas sosial.
Warna hijau dalam dokumen spasial bisa saja menandai rumah, ladang, sekolah, dan dapur keluarga. Peta dapat digambar ulang, tetapi jejak kehidupan masyarakat yang telah lama berurat-akar di atas lahan dan area tersebut tidak dapat dihapus begitu saja.
Ketika hukum hadir dengan dalih “penertiban” atas tatanan yang telah mapan secara sosial, namun tanpa proses dengar dan tanpa memahami konteks sosial-historisnya, maka yang terjadi bukanlah penegakan hukum berkeadilan, melainkan penegakan formalitas yang mengingkari sejarah.
Negara yang lambat dalam menetapkan batas-batas ruang tak seharusnya gegabah menjadikan garis peta sebagai ukuran tunggal kebenaran. Sering kali, justru garis itulah yang memisahkan antara masyarakat dengan ruang hidupnya sendiri.
Penegakan hukum tampak terpisah dari realitas masyarakat yang telah hidup dari infrastruktur tersebut. Hukum yang tidak lahir dari realitas sosial akan selalu terdengar asing — bukan sebagai instrumen keadilan, melainkan sebagai gema kekuasaan yang jauh dari realitas lapangan.
Sebelum negara menyatakan suatu kawasan sebagai hasil penyerobotan, pertanyaan mendasarnya adalah: siapa yang lebih dulu hadir? Siapa yang selama ini membayar pajak, membangun jalan, dan membesarkan anak-anak dari hasil lahan yang kini disebut ilegal?
Lon Fuller mengingatkan pentingnya moralitas internal hukum: agar hukum dapat berfungsi secara efektif, ia harus diketahui, dipahami, dan dijalankan oleh masyarakat luas.
Namun, bagaimana mungkin masyarakat dapat memahami peta kawasan hutan yang selama ini tidak pernah transparan, tidak pernah disosialisasikan, dan sering kali berubah karena tarik-menarik kepentingan elite?
Yang dibutuhkan hari ini bukan sekadar legalisasi administratif, melainkan pengakuan.