Axel Honneth berpendapat bahwa manusia menjadi manusia sepenuhnya hanya ketika keberadaannya diakui.
Baca juga: Asmawati Tak Tuntut Pengadilan Meski Rumahnya Salah Gusur, Dapat Rp 25 Juta dari Menteri: Cuma Doa
Maka, bagi masyarakat adat, petani kecil, atau warga yang membangun infrastruktur lokal, tuntutan mereka bukanlah ampunan, melainkan pengakuan atas apa yang telah mereka ciptakan di tengah ketidakhadiran negara.
Melihat konteks Jembatan Haji Endang, pengakuan itu belum tiba.
Jembatan tersebut tidak sekadar struktur fisik di atas sungai, tetapi simbol dari kemandirian warga ketika pemerintah abai.
Kehidupan warga berdenyut setiap hari di atas jembatan tersebut. Namun, ancaman pembongkaran seakan ingin menghapus kontribusi masyarakat yang telah menciptakan solusi nyata bagi kebutuhan hidup mereka.
Rawls mengingatkan bahwa keadilan sejati harus berpihak pada yang paling rentan.
Pada konflik antara peta GPS dan jejak kaki di tanah, antara peraturan dan jembatan kayu, negara seharusnya berpihak pada masyarakat yang lebih dulu hadir dan bekerja.
Tidak seharusnya hukum dibangun di atas pengingkaran terhadap sejarah lokal yang telah ada.
Padahal, banyak tanah yang diklaim sebagai kawasan hutan telah memiliki dokumen resmi.
Ada SHM, HGU, bahkan surat dari pemerintah daerah yang selama ini dijadikan dasar pembangunan ekonomi lokal.
Namun, semua dokumen itu kini tersingkirkan oleh klaim tunggal: “kawasan hutan”.
Tanpa dialog, tanpa pemberitahuan, masyarakat diminta tunduk pada garis peta baru yang disusun dari ruang rapat, bukan dari realitas lapangan.
Jembatan Haji Endang menjadi cerminan paradoks antara regulasi dan realitas. Ketika negara lamban menyediakan akses jalan, warga membangun sendiri jembatan.
Ketika negara sibuk menyusun aturan, warga menyambung hidup.
Namun, inisiatif tersebut kini dihadapkan pada ancaman pembongkaran, seakan-akan keberadaan mereka adalah kesalahan administratif yang harus ditebus.
Baca juga: Sebut Bantuan Rp10 Juta Dedi Mulyadi Kurang, Aura Cinta Curhat Lagi Soal Penggusuran: Seperti Hewan
Fuller kembali menekankan bahwa hukum yang efektif harus memiliki moralitas internal. Dalam kasus lahan sawit rakyat, peta kawasan tak pernah disosialisasikan.