TRIBUNJATIM.COM - Nasib pilu dialami Mbah Tasripan yang ditemukan hidup sebatang kara tinggal di sebuah gubuk reyot dekat tanggul Lumpur Lapindo.
Tepatnya ia tinggal di Desa Ketapang, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Ia tinggal di sana sejak tahun 2013, mengandalkan barang rongsokan untuk bertahan hidup.
Baca juga: Petugas Haji Batal Berangkat usai Tolak Lunasi BIPIH Rp94 Juta, Minta Dibayarkan Pemkab: Saya Kecewa
Yang mengiris hati, salah satu anak Mbah Tasripan ternyata anggota TNI.
Namun, sang ayah tetap dibiarkan hidup dalam kondisi memprihatinkan.
"Nengok, tapi enggak pernah ngasih," ujar Tasripan saat dikunjungi Wakil Bupati Sidoarjo, Hj Mimik Idayana, Selasa (20/5/2025).
Berdasarkan penuturan Mbah Tasripan, anaknya ada dua.
Salah satu tinggal di Malang, dan satu lagi tinggal di Kali Tengah, Sidoarjo.
Satu di antara mereka berprofesi sebagai abdi negara.
Mimik datang ke lokasi setelah menerima laporan dari warga tentang keberadaan gubuk tak layak huni itu.
Ia tak bisa menyembunyikan keprihatinannya saat melihat langsung kondisi Mbah Tasripan.
"Bapak, saya punya rumah, punya kos-kosan. Mau tinggal di situ?" tanya Mimik kepada Mbah Tasripan, melansir unggahan di akun Instagram miliknya.
Setelah beberapa saat, Mbah Tasripan menjawab lirih, "Mau."
Mimik pun mengajaknya langsung pindah.
"Sekarang ikut saya. Enggak usah bawa barang-barang njenengan yang ada di sini."
"Biar ini nanti dirobohkan. Baju semuanya saya kasih," ujarnya, dikutip dari Tribun Jateng.
Setelah sepakat, Wabup Sidoarjo mempersilakan Tasripan untuk mandi.
"Sampeyan adus sing bersih, ambil wudu, nanti salat di masjid depan."
"Sudah ada kasurnya. Nanti peralatan tak belikan," sambungnya.
Mimik bahkan menuntun Tasripan berjalan, memberinya pakaian dan sarung baru untuk salat.
Baca juga: Rahasianya Dibocorkan ke Pendeta Gereja, Ibu Laporkan Anak Tirinya ke Polisi, Terdakwa Heran
Saat membahas tentang anaknya, Tasripan menuturkan bahwa buah hatinya tidak mengerti kondisi orang tua.
"Enggak ngerti sama orang tua," kata Tasripan saat menceritakan kondisi keluarganya.
"Wes enggak opo-opo, sak iki ono aku," jawab Wabup sambil menenangkan.
Aksi Mimik ini dilakukan bersama Baznas Sidoarjo.
Bersama Baznas Sidoarjo, pihaknya juga memberikan bantuan sembako dan peralatan kebutuhan sehari-hari.
"Saya merasa ini adalah tanggung jawab kita sebagai pemerintah daerah," tegas Mimik Idayana.
Nasib pilu juga dialami Nardi (65) dan anaknya, Hendra, asal Dusun Cisaar, Desa Kertahayu, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Selama ini mereka berdua tinggal di sebuah gubuk reyot berukuran 2 x 5 meter.
Dinding gubuk mereka sudah rapuh, lantainya tanah, dan tidak ada air bersih.
Nardi sendiri sudah empat bulan ini tengah sakit.
Begitu pula dengan sang anak, yang idap penyakit paru-paru.
Beberapa hari ia dan Hendra bertahan dalam kondisi kelaparan dan tanpa bantuan.
"Beberapa hari kami hanya minum air putih. Saya sudah tidak kuat," ucap Nardi lirih, Sabtu (26/4/2025).
Baca juga: Terdampar di Pulau Tak Berpenghuni, 1 Keluarga Terselamatkan Gaungan Toa Masjid saat Subuh
Ironisnya, meski memegang Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Nardi dan Hendra tidak pernah menerima bantuan beras atau bantuan sosial lainnya yang seharusnya menjadi hak mereka.
Bantuan rutin yang biasa diterima warga lain di desa tersebut seolah tak melewati rumah kecil mereka.
Hendra, yang juga tengah berjuang melawan penyakit paru-paru, mengaku tidak bisa bekerja tetap.
Selain karena kondisi fisiknya yang lemah, ia juga harus menjaga ayahnya yang tak mampu beraktivitas sendiri.
Sesekali, saat tubuhnya mengizinkan, ia bekerja serabutan demi bisa membeli makanan.
Kisah pilu mereka akhirnya terungkap setelah seorang warga yang peduli mengunggah video kondisi Nardi di media sosial, dilansir dari Tribun Jabar.
Video tersebut menjadi viral di kalangan warga setempat dan menggerakkan perangkat desa untuk turun tangan.
Keterkejutan juga mewarnai reaksi mereka, karena selama ini Nardi dan Hendra tidak tercatat aktif dalam daftar penerima bantuan rutin.
Pemerintah Desa Kertahayu mengakui adanya kekeliruan dalam pendataan,
Mereka pun berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program bantuan sosial di wilayah mereka.
Kisah Nardi dan Hendra menjadi cermin bahwa di balik laporan-laporan keberhasilan program sosial, masih ada pekerjaan rumah besar.
Seharusnya mereka memastikan tidak ada satu pun warga yang luput dari perhatian.
Ketika sistem administrasi tidak berjalan sempurna, yang menjadi korban adalah mereka yang paling rentan, seperti Nardi dan Hendra, yang berjuang diam-diam dalam sunyi.