“Salah satu yang paling terasa adalah sistem rekrutmennya. Di Australia, beberapa tempat kerja menerapkan sistem trial, biasanya 3 jam, untuk menilai kemampuan kita langsung di lapangan," ujar dia.
"Sedangkan di Indonesia, prosesnya lebih panjang dan sering kali hanya menilai dari ijazah atau nilai akademis, bukan skill kerja,” ucap Merianti.
Dengan upah minimum 30,13 dolar Australia per jam atau sekitar Rp 331.000, Merianti mengaku bisa mencukupi biaya hidup, sewa tempat tinggal, dan menabung.
Baca juga: Pantas Guru Sekolah Swasta Resign Massal, Bayar Rp 500 Ribu Jika Kerja Buruk hingga Asuh Anak Kepsek
Pembayaran gajinya dilakukan mingguan atau dua mingguan.
"Di Australia, kedisiplinan itu sangat penting. Kalau sering telat, bisa dianggap enggak bertanggung jawab dan berisiko diberhentikan," kata dia.
"Tapi di sisi lain, mereka juga sangat adil. Datang on time, pulang juga on time. Bahkan, kalau harus lembur, tetap dibayar sesuai jam kerja. Break time juga wajib diberikan," tuturnya lagi.
Selama bekerja di Australia, Merianti tidak pernah merasakan diskriminasi.
“Mereka punya aturan ketat soal bullying dan harassment, jadi siapa pun yang melanggar bisa langsung dilaporkan,” katanya.
Pesan untuk Anak Muda Indonesia
Bagi anak muda Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri, Merianti berpesan untuk aktif mencari informasi.
“Kumpulkan informasi sebanyak mungkin, lalu ikuti prosesnya dengan sabar," kata Merianti.
"Sebab, pada akhirnya ketika sudah berada di luar negeri pun harus bisa melakukan apa-apa secara mandiri,” pungkasnya.