Berita Viral

Mbah Lasiem Kaget BPJS PBI Dinonaktif, Terpaksa Bayar Rp27 Ribu saat Berobat, Suami Cuma Jual Kelapa

Penulis: Ani Susanti
Editor: Mujib Anwar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BPJS PBI DINONAKTIF - Sejumlah warga di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, kehilangan akses layanan kesehatan setelah kepesertaan BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) mereka dinonaktifkan. Salah satu dampaknya dirasakan langsung oleh Lasiem (64), warga Kalipetir Kidul, Kalurahan Margosari, Kapanewon Pengasih.

TRIBUNJATIM.COM - Seorang warga bernama Mbah Lasiem kaget BPJS-nya dinyatakan tidak aktif.

Mbah Lasiem adalah Kalipetir Kidul, Kalurahan Margosari, Kapanewon Pengasih, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selama ini ia mengikuti kepesertaan BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Mereka tak tahu jika kini dinonaktifkan.

Akibatnya, Mbah Lasiem yang terpaksa membayar biaya pengobatan secara mandiri.

“Kaget, karena tidak ada penjelasan apa-apa kok tiba-tiba tidak aktif. Kata petugasnya ini harus dihidupkan lagi ke kantor desa,” kata Lasiem saat ditemui di rumahnya, Selasa (1/7/2026), melansir dari Kompas.com.

Lasiem, yang rutin menjalani kontrol tekanan darah sejak 2024, akhirnya membayar Rp 27.000 saat berobat pada 4 Juni lalu karena BPJS-nya tidak aktif.

Bersama suaminya, Tumuji (65), mereka kemudian mengurus aktivasi ulang ke balai desa.

Tumuji mengatakan, mereka mengambil formulir dari kantor desa dan mengembalikannya keesokan hari.

Setelah dua pekan menunggu, pihak dusun mengabarkan bahwa BPJS Lasiem telah aktif kembali.

“Tapi kami belum mengecek kebenarannya karena jadwal berobat baru nanti tanggal 4 Juli,” ujar Tumuji.

Baca juga: Nasib Mbah Sumi di Boyolali sempat Kesulitan saat Berobat Pakai BPJS Kesehatan, Disebut Meninggal

Pasangan lansia ini sangat bergantung pada layanan BPJS PBI karena kondisi ekonomi yang terbatas.

Tumuji tidak lagi bekerja dan hanya mengandalkan sisa tabungan serta hasil penjualan kelapa di pekarangan rumah yang hanya menghasilkan sekitar Rp 100.000 per bulan.

“Kami juga sambil merawat orangtua yang usia 95 tahun,” tambahnya.

Dukuh Kalipetir Kidul, Poniman, membenarkan bahwa beberapa warganya mengalami hal serupa.

Ia menyebut ada warga penderita sakit jantung dan gangguan perut yang BPJS-nya juga sempat nonaktif dan harus diurus kembali ke kalurahan.

“Sejauh ini tiga yang saya ketahui, tapi bisa saja lebih dari itu karena langsung ke kalurahan untuk mengurus,” kata Poniman.

Ia mengimbau agar warga mengecek status kepesertaan BPJS PBI mereka dan segera melapor ke kantor desa bila dinonaktifkan.

“Dengan begitu, kartu bisa secepat mungkin digunakan bagi orang yang tidak mampu,” ujarnya.

Baca juga: Ditolak RSUD karena Pakai BPJS Kesehatan, Anak Usia 12 Meninggal, RS Bantah: Kami Sudah Melayani

Sementara itu, Kepala Seksi Penanganan Fakir Miskin Dinas Sosial P3A Kulon Progo, Ika Dwi Wahyuning Kusumastuti, mengungkapkan bahwa terdapat 6.600 warga Kulon Progo yang dinonaktifkan dari BPJS PBI akibat proses sinkronisasi data nasional.

Secara keseluruhan, jumlah peserta nonaktif di DIY mencapai 57.000 orang.

Penyesuaian ini dilakukan seiring transisi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ke Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), hasil integrasi DTKS, P3KE, dan Regsosek yang dikelola Badan Pusat Statistik (BPS).

“Kami menerima data penonaktifan PBI APBN di Kulon Progo ini ada 6.600 karena perubahan itu,” ujar Ika.

Meski demikian, pemerintah daerah menjamin proses reaktivasi akan berlangsung cepat. Warga cukup mengurus di kantor desa, lalu datanya akan diverifikasi Dinsos, dilanjutkan dengan rekomendasi ke Dinas Kesehatan, dan kemudian diajukan ke BPJS.

“Prosesnya akan berlangsung cepat. Hari ini langsung jadi,” tegas Ika.

Dalam berita lain, seorang nenek bernama Sumi lemas ketika dinyatakan meninggal dunia oleh data pihak BPJS.

Nenek Sumi mengetahui kejanggalan datanya itu ketika hendak berobat menggunakan BPJS.

Nenek bernama Sumi (70), warga Dukuh Banjarsari RT 19, RW 09, dinyatakan meninggal dunia dalam dokumen resmi.

Padahal nyatanya Sumi masih hidup dan sehat.

Dokumen kematian atas nama Sumi itu beredar luas di media sosial.

Dalam surat yang diterbitkan tanggal 9 September 2022, disebutkan bahwa Sumi meninggal pada 4 Agustus 2021. 

Surat itu bahkan telah ditandatangani para saksi, dibubuhi stempel Kepala Desa Gubug dan Camat Cepogo, serta sudah masuk dalam sistem kependudukan.

Baca juga: Pasien Kesal Ditolak Rawat Inap di RSUD Tak Bisa Pakai BPJS Kesehatan, Ngaku Sudah Rutin Bayar Iuran

Kesalahan tersebut berdampak fatal.

Seluruh dokumen kependudukan milik Sumi otomatis menjadi tidak berlaku, termasuk BPJS Kesehatan yang dibutuhkannya untuk berobat.

Keluarga baru menyadari adanya kekeliruan ini saat mengurus layanan BPJS Kesehatan dan mendapat informasi bahwa Sumi telah "dimatikan" dalam data resmi.

Merasa dirugikan, keluarga kemudian mendatangi Kantor Desa Gubug untuk mencari kejelasan. 

Kepala Desa Gubug, Muh Hamid, mengakui kesalahan pihak desa dan langsung mengambil langkah korektif. 

“Kemarin hari Rabu, terus kita langsung proses. Ndelalah Disdukcapil itu gampang sekali. Jadi langsung KK dan KTP itu bisa terbit,” ujar Hamid.

Dalam dokumen tersebut, Sumi dinyatakan meninggal dunia pada 4 Agustus 2021, dan keterangan itu ditandatangani oleh perangkat desa atas nama Wahyudi pada 9 September 2022. 

Dia menegaskan bahwa kejadian itu murni kesalahan dari Desa. 

“Saya menyatakan itu kesalahan dari Desa. Habis itu langsung kita klarifikasi ke BPJS Kesehatan,” tambahnya.

Baca juga: Termasuk RS Swasta, Pemkot Surabaya Target Semua RS Bisa Terima Pasien BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan kemudian memberikan syarat administrasi untuk reaktivasi data Sumi, yang langsung dipenuhi pihak desa.

“Alhamdulillah sampai saat ini, KK, KTP, dan juga BPJS Kesehatan sudah aktif semua,” ungkap Hamid.

Kini, KTP dan Kartu Keluarga yang baru pun telah diserahkan kembali kepada Sumi, dan layanan BPJS Kesehatan miliknya bisa kembali digunakan.

Kepala Desa (Kades) Gubug, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Muh Hamid mengaku salah dalam kejadian ini. 

Hamid menceritakan, penerbitan surat keterangan kematian Sumi itu berawal dari instruksi untuk menerbitkan surat kematian bagi warga yang telah meninggal dunia selama pandemi Covid-19. 

Saking banyaknya surat, dia pun tak mengecek satu-persatu surat yang diajukan perangkat desa. 

“Jadi waktu itu saya harus menandatangani 130 surat kematian dalam satu waktu, mungkin terburu-buru, jadi tidak saya cek satu-satu,” bebernya.

Pihaknya meminta maaf kepada ibu Sumi terkait permasalah tersebut. 

“Saya juga malu, karena tetangga sendiri juga, satu RW,” ucap Hamid.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Berita Terkini