Menurut Solikin Jamik, tingginya angka permohonan diska di Bojonegoro disebabkan oleh berbagai faktor.
Namun dua penyebab paling dominan adalah putus sekolah dan tekanan ekonomi.
“Banyak anak tidak lanjut SMA atau SMK karena alasan biaya dan lokasi sekolah yang jauh dari rumah. Akibatnya, mereka justru terdorong untuk menikah muda,” paparnya.
Parahnya, lanjut Sholikin Jamik, sebagian orang tua justru menganggap pernikahan sebagai solusi mengurangi beban keluarga.
Tak hanya itu, norma sosial tradisional dan minimnya pengetahuan soal kesehatan reproduksi juga ikut memicu pernikahan dini.
“Masih ada anggapan bahwa jika anak perempuan hamil di luar nikah, maka harus segera dinikahkan agar nama baik keluarga terjaga. Bahkan, ada yang tidak tahu bagaimana mencegah kehamilan yang tak direncanakan,” jelas Solikin.
Banyaknya angka pernikahan anak, kata Solikin Jamik harus menjadi perhatian bersama.
Ia berpendapat permasalahan ini tidak bisa diselesaikan satu pihak saja, melainkan harus melibatkan banyak unsur.
“Pemerintah, pendidik, tokoh agama, dan tentu saja keluarga harus bersinergi. Karena pernikaan anak ini bukan sekadar angka dalam data dispensasi kawin. Mereka adalah masa depan Bojonegoro,” tandasnya.
Kasus bocah 12 tahun yang ingin menikah ini menjadi potret buram soal lemahnya perlindungan anak di daerah.
Jika tidak segera ditangani serius, maka angka pernikahan dini bisa terus meningkat dan berdampak pada kualitas generasi mendatang. (Laporan Wartawan TribunJatim.com, Misbahul Munir)